RADIO KOMUNITAS SEBAGAI PERENCANAAN PERLUASAN
PENDIDIKAN NON FORMAL (SUATU PENDEKATAN MENGENAI TINJAUAN HUKUM PERIZINAN)
Nasaruddin[1]
Abstrak.
Media Komunikasi yang dikembangan berperan penting dalam upaya peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan jarak jauh merupakan suatu
alternatif pemerataan kesempatan dalam bidang pendidikan.
Sistem ini dapat mengatasi beberapa masalah yang ditimbulkan akibat
keterbatasan tenaga pendidik yang berkualitas. Peranan media
radio dalam sistem pembelajaran jarak jauh adalah sebagai salah satu
media penunjang terhadap media utama, yaitu modul, serta bekerjasama
dengan media lainnya. Media radio sebagai satu sub sistem pembelajaran
jarak jauh dirancang dengan mempertimbangkan pertentangan
antara potensi yang dimiliki dan pemanfaatan kegiatan pendidikan yang
akan dilakukan; antara kemampuan yang dimiliki media audio dalam memperbaiki kualitas pembelajaran
Radio Komunitas merupakan radio penyiaran yang didirikan oleh
komunitas tertentu,
bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas
jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya. Sistem
pembelajaran jarak jauh berbasis radio komunitas dikonseptualisasikan
berdasarkan kerangka kerja komunikasi pembangunan yang memiliki
tujuan untuk yaitu edukatif, informatif, dan memberdayakan masyarakat.
Kata Kunci: Radio Komunitas, Perluasan,
Pendidikan Non formal
I.
Pendahuluan
Trend akselerasi
penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun), demikian kencang mengemuka menjadi
isu menarik di beberapa daerah di wilayah Republik ini. Salah satu propinsi yang sangat serius
menangani dan menjalankan program ini adalah Papua Barat. Hal ini
terkait dengan target propinsi ini untuk mendongkrak angka Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index) menjadi 80
pada tahun 2008. Sebagai salah
satu indikator penting ketercapaian kualitas pembangunan manusia, pendidikan menjadi garapan yang
memperoleh perhatian
serius disamping aspek kesehatan dan ekonomi. Keseriusan penanganan terhadap bidang
pendidikan dipicu oleh kenyataan yang menggambarkan masih banyaknya jumlah sasaran didik yang belum
terlayani kebutuhan
belajarnya melalui pendidikan formal akibat beragam keterbatasan.
Karena alasan
itu, perlu dikembangkan strategi penanganan lain, yakni melalui jalur pendidikan
non formal (pendidikan luar sekolah) yang berfungsi sebagai akselerator, jalur alternative, dan katalisator
peningkatan indeks
pendidikan. Asumsi yang dijadikan landasan pengembangan strategi ini adalah:
(a) pentingnya penyelematan anak usia sekolah yang mengalami DO; (b)
meningkatkan rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH), serta
(c) memiliki karakteristik pendidikan berbasis masyarakat. Esensi dari alternatif
model strategi ini adalah terbukanya peluang secara lebih luas dan lebih luwes
bagi masyarakat yang kurang beruntung secara sosial, ekonomi, dan
kultural, untuk memperoleh pemerataan kesempatan dan akses kepada
pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar, dengan mutu yang memadai standar minimal, dapat dipertanggungjawabkan serta
memberikan manfaat sebagai bekal hidup yang strategis.
Komunitas ini
mungkin termasuk ke dalam kategori yang terpaksa putus studi dan atau tidak dapat melanjutkan studi, terisolir,
terpinggirkan karena berbagai
hal termasuk korban bencana alam, bencara sosial politik, dan sebagainya. Dengan lebih luas
diartikan daya akses dapat menjangkau peserta didik sebanyak mungkin melalui berbagai alternatif jaring
pelayanan strategis yang
tersedia di masyarakat. Sedangkan dengan lebih luwes diartikan sebagai mudah diakses
setiap saat dan tidak terikat dengan formalitas kultural dan prosedural seperti pada institusi
pendidikan formal. Dengan terencana,
dimaksudkan bahwa cakupan dan kandungan isi/materi program pembelajarannya dipersiapkan
sebagaimana mestinya, serta mutu yang teruji berdasarkan kriteria standar keberhasilan minimal dan berkelayakan memperoleh
sertifikasinya.
Dengan merujuk
pada strategi dan asumsi tersebut, program kegiatan yang dikembangkan pada
jalur pendidikan non formal setidaknya dibagi ke dalam dua program besar,
yaitu: (1) Keaksaraan fungsional; (2) Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C.
Penetapan kedua program ini didasarkan pada fakta dan data pada tahun 2003 yang
mencatat 607.521 penduduk usia 10-44 tahun tidak dapat membaca dan menulis. Suatu
kasus masih besarnya angka masyarakat yang tidak bisa baca tulis berpengaruh
terhadap pencapaian angka melek huruf (AMH) Papua Barat. Salah satu kegiatan
yang perlu untuk menanggulangi buta huruf di Papua Barat dilakukan melalui keaksaraan
fungsional.
Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal, tetapi juga ditopang oleh
pendidikan non formal atau
melalui pendidikan luar sekolah, khususnya program Kelompok Belajar Paket A setara SD,
Paket B setara SLTP, dan Paket C setara SMA. Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C, merupakan
alternatif untuk siswa
usia sekolah, usia yang terlambat sekolah dan atau tidak bisa masuk sekolah formal. Selain secara
formal dilakukan di PKBM, kegiatan Paket A, B, dan C bisa juga dilaksanakan di lembaga-lembaga sosial, lembaga agama (pesantren, Majlis
Taklim, TPA, dll). Paradigma model program kegiatan ini, dilandasi oleh strategi pendidikan berbasis
masyarakat dengan
sasasaran peningkatan AMH dan RLS. Data terakhir menunjukkan sasaran Kelompok Belajar Paket A
setara SD berjumlah 76.018, Paket B setara SLTP sebanyak 625.563 orang dan Paket C setara SMU sebanyak 237.628 orang.[2] Pengalaman empirik selama beberapa
tahun membantu dalam bentuk technical assistant, advokasi (advocation),
pendampingan (backstopping), dan pembinaan terhadap lembaga-lembaga pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat,
ditemukan kendala yang cukup mengganggu
kinerja secara keseluruhan yakni sulitnya memaksimalkan layanan pendidikan bagi
kelompok-kelompok sasaran yang kurang memiliki kesempatan untuk akses secara langsung terhadap program-program pendidikan non formal, khususnya
program Paket A dan Paket B. Padahal di satu sisi, komunitas ini memiliki kebutuhan belajar yang cukup
tinggi, terutama
kaitannya dengan peningkatan kualifikasi pendidikan minimal SLTP dan bahkan SMA yang
dipersyaratkan oleh perusahaannya tempat bekerja. Beberapa hal yang menjadi persoalan keterbatasan akses
adalah sebagai
berikut:
(1) Sebagian besar sasaran didik adalah pekerja dan pencari nafkah (buruh pabrik, petani, nelayan dan wiraswasta)
yang pulangnya baru sore hari;
(2) Jarak yang cukup jauh antara domisili peserta didik dengan
institusi penyelenggara
pendidikan non formal;
(3) Waktu belajar pada siang hari yang berbenturan dengan jam
kerja, kurang
memungkinkan terjadinya proses pembelajaran secara tatap muka (face to face).[3]
Pada kelompok sasaran yang disebutkan di atas, kurang memungkinkan diterapkan proses
pembelajaran yang konvensional dalam bentuk tatap muka (face to face) di ruang kelas, tetapi
mesti dicari model alternatif
pembelajaran yang mampu mengkomodasi kebutuhan belajar masyarakat/komunitas ini secara adil
dan merata.
Kenyataan
inilah yang menjadi dasar
pertimbangan perlunya pengembangan sistem pembelajaran jarak jauh berbasis penyiaran radio
komunitas pada jalur pendidikan non formal. Melalui sistem pembelajaran ini, keterbatasan-keterbatasan
di atas diharapkan
dapat diatasi secara tepat dan lebih baik. Kenyataan lain penulis memandang perlu melakukan
penelitian pada wilayah Sorong Papua Barat yang dianggap sebagian masyarakat
membutuhkan pendidikan system jarak jauh dengan menggunakan fasilitas media radio
sebagai alat untuk menyalurkan informasi, pendidikan dan hiburan.
Selain itu pula hadirnya dunia digital yang
memunculkan konvergensi tekhnologi maka dunia penyiaran ke depan akan
berubah seiring berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi. Sifat-sifat
teknologi telekomunikasi konvensional yang bersifat massif sekarang sudah mampu
digabungkan dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Sistem analog
yang telah bertahan sekian puluh tahun akan segera tergantikan oleh sistem
digital, dan implementasinya segera memunculkan fenomena baru: konvergensi.
Sederhananya, konvergensi adalah bergabungnya media telekomunikasi tradisional
dengan internet sekaligus. Bersamaan dengan berlangsungnya konvergensi dibidang
telematika, akan terjadi peralihan sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran
digital. Radio digital menggunakan
modulasi digital dan kompresi untuk menyebarluaskan imajinasi, audio, dan
signal data ke pesawat radio.
Kunci dari konvergensi adalah
digitalisasi, kerena seluruh bentuk informasi maupun data diubah dari format
analog ke format digital sehingga dikirim ke dalam satuan bit (binary digit).
Karena informasi yang dikirim merupakan format digital (multifleksing),
konvergensi mengarah pada penciptaan produk-produk yang aplikatif yang mampu
melakukan fungsi audiononvisual sekaligus komputasi. Maka jangan heran jika
sekarang ini komputer dapat difungsikan sebagai pesawat radio, atau telepon
genggam dapat menerima suara, Dalam dunia penyiaran, digitalisasi memungkinkan
siaran radio memiliki layanan program seperti layaknya internet. Cukup dengan
satu perangkat, seseorang sudah dapat mengakses surat kabar, menikmati hiburan
televisi, mendengar radio, mencari informasi sesuai selera, dan bahkan menelpon
sekalipun.
Perkembangan tekhnologi seperti
yang diuraikan diatas tidak lepas dari peran dari Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi, maka terkait dengan perijinan Radio Komunitas, asumsi sebagian
masyarakat mengenai sulitnya mendapatkan ijin resmi selanjutnya disebut dengan
ISR, selalu merujuk kepada banyaknya benturan aturan yang ada dalam proses
perijinan, secara fungsional sangat jelas bahwa POSMON melakukan pengawasan
terhadap spektrum radio, hal ini menurut penulis POSMON telah berada pada rel
yang benar yaitu melakukan pengawasan lalulintas signal melalui control yang
ditetapkan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Sekian banyaknya fasilitas yang
ditawarkan kepada masyarakat atau pengguna informasi menjadikan pihak pemilik
siaran dengan mudah memberikan pelayanan informasi kepada komunitasnya, dengan
fasilitas inilah yang menjadi alat untuk mencerdaskan anak bangsa terutama
dibidang pendidikan.
II.
Pembahasan
1.
Memahami Makna
Pembelajaran dan Pendidikan
Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No 20 tahun 2003 sudah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memilih kekuatan spritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan olehnya. Dengan demikian
pendidikan pada dasarnya usaha nyata dalam membentuk moralitas anak didik
menjadi generasi bangsa yang tangguh dan menjadi manusia yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.[4] Banyaknya kasus dinegara Indonesia yang
menjadi perhatian akademisi sampai sekarang belum mampu mencapai hasil sesuai
dengan undang-undang No 20 tahun 2003, salah satu contoh kebobrokan moral
bangsa kita secara nyata terlihat berbagai korupsi yang melibatkan para
petinggi dan pemangku kebijakan negara kita, lemahnya iman generasi muda-mudi
sehingga banyak yang terjerumus kedunia hitam seperti, seks bebas, narkoba,
minuman keras, tawuran antar pelajar maupun masyarakat, pemerkosaan
dimana-mana. Salah satu poin penting yang digaris bawahi adalah korupsi yang
menjadi trending topic dalam dunia sosial, sebut saja kasus Hambalang,
Bank Century, cek pelawat, impor daging sapi melibatkan petinggi PKS dan masih
banyak lagi, semua ini sangat mencengangkan moral bangsa kita. Melihat fenomena
diatas adalah ironis bangsa kita sebagai bangsa yang beragama yang menekankan
nilai-nilai kehidupan keberagamaan dalam kehidupan sosial, tetapi masuk sebagai
peringkat negara terkorup didunia. bahkan ada lebel partai Islam pun melakukan hal yang sama.
Pembelajaran dan pendidikan dalam
bahasa arab dikenal dengan taalim dengan kata kerjanya rabba. dan
tarbiah dengan kata kerjanya adalah allama atau pendidikan dan
pengajaran dalam bahasa arabnya adalah tarbiyah wa ta’lim adalah dua perkara penting dalam membina
anak, tetapi juga memiliki perkara yang berbeda, namun ia serupa antara satu
sama lainya.[5]
Pembelajaran adalah proses
belajar atau proses mengumpul ilmu.
Pembelajaran khusus ditujukan pada akal sebab ia mudah dan straighforward.
Sedangkan pendidikan adalah proses pemahaman, penghayatan, penjiwaan, dan
pengamalan. Atau pendidikan adalah pembenahan insan yang bukan hanya melibatkan
perkara fisikal dan mental, tetapi juga hati dan nafsu.[6]
Bahkan apa sebenarnya yang didik adalah hati dan nafsu.
Makna lain dari pendidikan adalah
tercapainya tujuan pendidikan, dalam arti lain disadari atau tidak pada umumnya
anak-anak yang dikirim kesekolah tujuannya adalah, 1) Ekonomi, yaitu
mendapatkan pekerjaan kelak, 2) mendapatkan kemuliaan dan kehormatan
dimasyarakat. Dua tujuan ini pada masyarakat pada umumnya hampir setiap tujuan
menuntut ilmu adalah sebagaimana yang dijelaskan dua poin diatas.
2. Sistem Pembelajaran Jarak Jauh
Era global dengan tingkat perubahan yang sangat cepat
mengakibatkan banyak kedidakpastian masa depan yang akan dilalui. Hal ini
dituntut setiap organisasi untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi hal
tersebut, berkaitan dengan lembaga pendidikan seperti, sekolah, Hoy dan Miskle
menyatakan perlunya sekolah menjadi organisasi pembelajar (learning
organization), sementara Lowyer Brook dan Black menyatakan bahwa:
‘’An educational system by must studied
as a learning organization in wich all member are actively involved in
both planning and participating in learning programs adapted to the specific
requirements of the changing work of social evironments in which day find
themselves’’.[7]
Hal ini
menunjjukkan bahwa sekolah sebagai suatu sistem pendidikan dapat dikaji dalam
kerangka organisasi pembelajar dengan mengingat berbagai perubahan yang
terjadi.
Pengertian
pendidikan jarak jauh dijelaskan oleh berbagai kalangan dari beragam perspektif yang
berbeda. Beberapa terminologi yang berkembang, seperti pendidikan terbuka (open learning), pendidikan korespondensi (correspondency
education), sekolah korespondensi (correspondency school), belajar
korespondensi (correspondencylearning) dan pendidikan udara (education of the air) telah
menyemarakkan dinamika pendidikan yang
tidak biasa ini. Istilah-istilah tersebut telah bercampur baur sehingga telah menimbulkan tafsir
atas definisi yang beragam pula.[8]
Para ahli
berusaha mendefinisikan pendidikan jarak jauh berdasarkan sudut pandang yang berbeda dan dalam
perspektif masing-masing. Homberg misalnya memandang pendidikan jarak jauh dari segi proses belajar
peserta didik yang
belajar hanya dengan mendapatkan sedikit supervisi dari tutorial. Pakar lain, seperti Wilbur Schramm
memandang pendidikan jarak jauh dari segi penggunaan media komunikasi dan peranannya dalam memperluas kesempatan belajar dan dalam
menyebarkan keahlian membelajarkan. Selengkapnya ia menegaskan bahwa ”pembelajaran jarak jauh
menggunakan media
komunikasi untuk memperluas kesempatan belajar di luar ruang kelas dan kampus, sehingga dimungkinkan
terjadinya patungan keahlian membelajarkan
secara lebih luas dibandingkan dengan apa yang dapat dilakukan oleh guru dan sekolah
manapun. Jadi pembelajaran jarak jauh memungkinkan orang-orang yang ingin
belajar untuk belajar di mana saja mereka berada, tanpa memandang usia,
pekerjaan atau jarak dari pusat belajar. Tiga orang tokoh lain, Mac Kenzie,
Postage, dan Schupham, menggambarkan pendidikan jarak jauh dari perspektif
misinya.[9]
Menurut ketiganya, pendidikan jarak jauh merupakan suatu ide dalam menciptakan kesempatan
belajar bagi orang-orang yang terhalang untuk memasuki sekolah biasa, karena
berbagai alasan seperti keterbatasan memperoleh pendidikan formal, keterbatasan
lowongan tempat duduk, keterbatasan biaya, tinggal di daerah terpencil, bekerja
dan kebutuhan lainnya.
Mengingat
karakteristiknya yang berbeda dengan pendidikan dan pembelajaran pada umumnya,
pembelajaran jarak jauh menuntut adanya desain materi dan teknik pembelajaran
yang khusus. Berkaitan dengan hal ini, Moore dan Kearsley mendefiniskan pendidikan jarak jauh
sebagai:
”planned
learning that normally occurs in a different place from teaching, requiring
special course design and instruction techniques, communication through various
technologies, and special organizational and administrative arrangements”.[10]
Secara lebih
formal, pembelajaran jarak jauh didefinisikan sebagai sebuah bentuk pendidikan
yang memiliki karekteristik sebagai berikut: (1) Pembelajar secara fisik
dipisahkan dengan pendidik; (2) Program pembelajaran terorganisasi; (3)
Menggunakan media telekomunikasi; (4) Melalui komunikasi dua arah. Dilihat dari
cara pandang sistem, pendidikan jarak jauh terdiri dari semua komponen proses yang
mengoperasikan kegiatan pembelajaran yang terjadi. Komponen-komponen tersebut mencakup belajar (learning), pembelajaran (teaching), komunikasi
(communication), rancangan (design), dan manajemen (management).[11] Sistem pendidikan jarak jauh merupakan suatu alternatif pemerataan kesempatan dalam bidang pendidikan.
Sistem ini dapat mengatasi beberapa masalah yang ditimbulkan akibat keterbatasan tenaga pendidik yang berkualitas. Pada sistem pendidikan
pelatihan ini tenaga pendidik dan peserta didik tidak harus berada dalam lingkungan geografi yang sama.
Tujuan dari pembangunan
sistem ini antara lain menerapkan aplikasi-aplikasi pendidikan jarak jauh berbasis penyiaran radio
komunitas. Secara sederaha dipahami sistem ini terdiri dari kumpulan
aplikasi-aplikasi yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam kegiatan
pembelajaran jarak jauh hingga penyampaian materi pembelajaran jarak jauh
tersebut dapat dilakukan dengan baik.
3.
Pendidikan
Jarak Jauh Pada Jalur Pendidikan Non Formal
Ending Saifuddin Anshari memberikan pengertian secara
lebih tekhnis pendidikan sebagai proses bimbingan (pimpinan, usulan dan
tuntutan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan,
kemauan dan intuisi), serta raga objek didik dengan baha-bahan materi tertentu,
dengan metode tertentu, pada jangka waktu tertentu dengan alat perlengkapan
yang ada kearah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan
ajaran Islam.[12]
Pandangan ini sejalan dengan Pendidikan
non formal menurut Coombs adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang
mapan, dilakukan
secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan
untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.
Pemahaman
tentang pendidikan non formal ini diasosiasikan dengan pendidikan luar sekolah, karena
biasanya ditawarkan oleh lembaga-lembaga di luar sekolah formal dan pendidikan orang dewasa (adult
education) karena diikuti oleh
orang-orang yang berusia di atas usia sekolah.
Memang tidak realistis bila kita mengharapkan
semua jenis pendidikan diberikan di dalam bangku sekolah, karena jangka waktu sekolah itu sedemikian singkat. Disamping itu, kenyataan menunjukkan
bahwa perkembangan ilmu dan teknologi
terus berkembang setelah siswa lulus atau keluar dari pendidikan formal. Untuk mengikuti perkembangan
tersebut orang perlu mengikuti pendidikan
lagi. Istilah lain
yang dihubungkan dengan pendidikan non formal adalah pendidikan berkelanjutan (continuing education) karena
program-program yang ditawarkan dimaksudkan sebagai
program-program yang terus menerus
dibutuhkan masyarakat dan merupakan program-program berkelajutan dari program-program
sekolah.
Istilah
pendidikan non formal acapkali pula dihubungkan dengan pendidikan sepanjang hayat (life
long education) karena menawarkan program-program yang dapat diikuti sampai tua, dan dibutuhkan
sepanjang orang masih
hidup. Programnya beranekaragam mengikuti keanekaragaman kebutuhan masyarakat. Dalam
pendidikan jarak jauh, program-program itu terbuka bagi siapa saja dan dimana saja. Waktu untuk mempelajarinya sangat fleksibel mengikuti kesempatan
dimiliki pesertanya. Tempatnya punterserah peserta,dimana saja. Hanya sedikit pertemuan tatap muka yang
terikat dengan tempat.
Jenis-jenis
pendidikan non formal yang ditawarkan melalui program jarak jauh benar-benar sangat luas
dan membuat kesempatan yang sangat leluasa bagi masyarakat untuk terus memperbaharui dan menambah pengetahuan dan keterampilannya
sesuai dengan minat dan kebutuhan hidupnya. Mereka yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari pun masih\ mendapatkan
kesempatan seperti itu.
4. Aspek Hukum Radio Komunitas
a. Aspek Hukum dari Segi Izin Penyiaran
Peraturan pemerintah penyiaran radio dan televisi
sebelumya berada pada Dinas penerangan atau Departemen Penerangan Republik
Indonesia, tidak begitu banyak yang mengkaji literature tentang penyiaran
terutama diIndonesia termasuk dalam kurikulum ilmu hukum, hukum penyiaran
merupakan aspek terkecil (genrei) dari kajian hukum telekomunikasi (genus), hukum telekomunikasi sendiri
adalah primat hukum khusus atau lex specially yang mengkaji dan mengatur
hal-hal yang berkenaan dengan telekomunikasi. Hukum Telekomunikasi bersandar
pada konvensi-konvensi, perjanjian-perjanjian internasional dan kebiasaan
internasional (International costumary law) yang sejak awal kelahiran
telekomunikasi terpelihara dan terus berkembang hingga saat ini.[13]
Mahluk hidup seperti manusia selalu membutuhkan
informasi untuk menjaga kelangsungan hidupnya, dan untuk mendapatkan informasi
tersebut manusia perlu berkomunikasi dengan manusia lain. Kemajuan tekhnologi
yang sedemikian super high speed ini, berakibat pada informasi sangat
berlimpah dan seolah-olah tidak mempunyai batas lagi. Dissayanake mengartikan
revolusi komunikasi sebagi peledakan tekhnologi komunikasi seperti terlihat
melalui meningkatnya pengguna satelit, mikro prosessor computer, dan pelayanan
radio tahap tinggi, serta perubahan yang terjadi pada konsekuensi yang ditempa
oleh bidang social, politik, ekonomi, kultur, dan gaya hidup manusia. Sedangkan
Schrahman mengingatkan bahwa perkembangan yang dinamakan revolusi komunikasi
adalah merupakan bagian dari serangkaian perubahan yang telah berlangsung dalam
sejarah kehidupan manusia selama ini.[14] Seiring dengan perkembangan tekhnologi
pemerintah tidak tinggal diam, akan
tetapi setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2005 tentang
penyelenggaraan penyiaran Radio dan Televisi, setiap radio wajib melakukan
perizinan sesuai dengan undang-undang No 50, 51 tahun 2005 pasal 4 bagian 3
ayat 1) sebelum menyelenggarakan kegiatan lembaga penyiaran swasta, komunitas
wajib memperoleh izin penyelenggara penyiaran.[15] Meskipun tergolong Negara yang selalu
terlambat dalam persoalan tekhnologi tetapi dengan terbitnya peraturan
pemerintah juga seiring dengan menjawab kebutuhan masyarakat terkait dengan
teknologi informatika berbasil digital.
Bagi radio komunitas adalah lembaga penyiaran yang
didirikan oleh komunitas tertentu, berbadan hukum Indonesia, bersifat
independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan
wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya. Badan hukum
yang dimaksud adalah perkumpulan atau koperasi yang bidang usahanya hanya penyelenggara
jasa penyiaran radio atau televisi komunitas, dan bersifat tidak komersial.
Hal-hal yang menjadi pensyaratan bagi radio komunitas adalah 1). Lembaga radio
komunitas diselenggarakan tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak
merupakan bagian dari perusahaan yang mencari laba atau keuntungan semata,
serta untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan,
dengan pelaksanaan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, informasi
yang menggambarkan identitas bangsa. 2). Lembaga penyiaran komunitas merupakan
organisasinya tidak terkait dengan organisasi terlarang. 3). Dilarang menerima
bantuan. 4). Dilarang melakukan siaran iklan atau siaran komersial lainya,
kecuali iklan layanan masyarakat. 5). Menggunakan satu saluran saja. 6). Wajib
memilki IPP ‘’Izin Prinsip Penyiaran’’.[16]
Untuk pengaturan penyiaran setiap lembaga radio
komunitas wajib melakukan proses perizinan dengan melakukan permohonan kepada
KPID/KPI, berikut bagan tata cara perizinan radio komunitas sebagai berikut:
Izin Siaran Radio
|
pemohon
|
KPID & POSMON
|
FRB
|
Studi Kelayakan (EDP)
|
RK
|
IPP
|
Eucs
|
Melihat
gambar diatas bahwa pemohon wajib melakukan permohonan yang biasa disebut
dengan Evaluasi Dengar Pendapat, serta uji kelayakan yang diuji oleh
masyarakat, politisi, Pemerintah, instansi terkait, setelah melakukan uji
kelayakan diadakan forum rapat bersama antara KPI/KPID POSMON/LOKA, BALMON,
KemKominfo, dan lembaga Penyiaran Radio, yang kemudian diterbitkan rekomendasi
kelayakan jika radio tersebut dinyatakan layak untuk publikasi siaran, setelah
RK diterbitkan maka dilakukan uji coba siaran sambil menunggun terbitnya Izin
Prinsip Penyiaran yang selanjutnya dikeluarkan ISR oleh Kementrian Komunikasi
dan Informatika sebagai tanda layak siar.[17]
b. Aspek Hukum dari Segi Izin Penggunaan
Frekuensi
Mekanisme perizinan penggunaan
SFR tidak hanya mengatur tentang alokasi frekuensi yang dapat digunakan, tetapi
frekuensi meliputi kualitas dan kualifikasi tekhnik perangkat telekomunikasi
yang digunakan. Sehingga setiap perizinan wajib disertakan sertifikasi alat.
Pengawasan terhadap pengguna
radio dapat berupa pengawasan dalam
penggunaan frekuensi dan etika penggunaan radio, hal itu dilakukan agar radio
komunikasi tidak keluar dari fungsinya yaitu untuk saling berkomunikasi tentang
ilmu pengetahuan teknik radio, elektronika, dan untuk penyampaian berita
marabahaya, bencana alam, pencarian dan pertolongan (SAR).[18]
Sebagian telah dijelaskan mengenai tata cara perizinan
Radio terutama radio komunitas, penyiaran tidak dapat terlaksana tanpa melalui
proses perizinan penggunaan Frekuensi, meskipun pemaparan mengenai ijin
penggunaan frekuensi tidak konprehensip tetapi perlu dipahami bahwa spectrum
frekuensi radio adalah susunan pita frekuensi radio yang mempunyai frekuensi
lebih kecil dari 3000 GHz sebagai suatu getaran gelombang elktromagnetik,
merambah dan terdapat dalam dirgantara.[19]
Spectrum frekuensi merupakan milik bersama umat manusia, meskipun dikatakan
sebagai milik umat manusia tetapi untuk menggunakan spectrum yang berbatas maka
dibutuhkan mekanisme perizinan baik ditingkat nasional maupun tingkat
internasional, kondisi ini tanpak paradoksal karena seorang bisa memanfaatkan
sesuatu yang menjadi haknya begitu saja walaupun dikatakan milik bersama,
banyak sekali pengguna frekuensi illegal yang salah satu alasanya adalah karena
kerumitan dalam persoalan izin.
Kekawatiran masyarakat terkait dengan izin radio,
POSMON oleh Medi, S,Kom mengatakan bahwa masalah perizinan, POSMON berada pada
hal pengawasan saja, yang lebih berwenang adalah DITJEN SDPPI (Kantor Pusat), tetapi masalah
sosialisasi menurutnya telah dilaksanakan dibeberapa daerah dengan cara yang
bervariasi, seperti melalui face to face, selebaran brosur, dan media spanduk
lainya, selain itu workshop untuk
pemahaman perizinan. Ditegaskan lagi bahwa setiap pengguna frekuensi selama
pada jalur yang berdasarkan UU telkomunikasi, POSMON yang merupakan unit kerja
wilayah Sorong, siap membantu dalam hal perizinan, karena masalah sulit
tidaknya perizinan tergantung seseorang memahami seperti apa aturan yang
berlaku mengenai perizinan, mengenai hal-hal tekhnis dilapangan biasanya posmon
bekerja sama dengan pihak terkait, seperti melakukan penertiban atau sekaligus
melakukan penyitaan bagi perangkat yang tidak bersertifikat atau tidak berizin.[20]
Uraian diatas dipahami bahwa mekanisme perizinan penggunaan
frekuensi pada prinsipnya ditatpkan administrasi yang ditunjuk oleh Negara
seperti Ditjen SDPPI, bahwa setiap pemohon yang masuk akan dilakukan analisis
terhadap data base frequency exiting, melalui prosedur yang telah
ditetapkan, jika ternyata frekuensi yang diajukan ternyata belum terpakai, maka
administrasi akan dilanjutkan, selanjutnya akan dilaporkan pada RRB (Radio regulation
Board), pencacatan diperlukan guna mengetahui kanal yang digunakan sebagaimana
mestinya oleh Negara untuk Rakyat.
Untuk menghindari perdebatan yang muncul maka
peruntukan perizinan dibagi menjadi dua yaitu:
1. Perizinan terkait dengan konten siaran oleh
KPI atau KPID untuk menjaga isi siaran yang berkwalitas serta memiliki nilai
normative
2. Perizinan terkait dengan spectrum oleh
Ditjen SDPPI untuk melakukan pengawasan spectrum agar sumber daya alam
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Negara untuk rakyat
Setelah melalui prosedur yang
ditetapkan oleh pemerintah, maka kewajiban yang lain oleh lembaga Radio adalah
wajib melakukan siaran yang mendidik, dan berupaya mencerdaskan pendengarnya
dengan sajian program siaran yang berkwalitas.
5.
Peranan
Media Radio Komunitas Dalam Kegiatan Instruksional
Radio adalah
tekhnologi yang digunakan untuk mengirim sinyal dengan modulasi dan radiasi
elekromagnetik (gelombang elktromagnetik), gelombang ini melintas dan merambah
lewat udara dan bisa juga merambah lewat ruang angkasa yang hampa udara, karena
gelombang ini tidak memerlukan medium pengangkut (seperti molekul udara).[21]
Radio diawali oleh penemuan-penemuan dibidang fisika pada abad ke XIX M. ada
sejumlah nama yang sanga berperan dalam penciptaan radio sebagai pelaku sejarah
hadirnya radio didunia seperti, Michael Faraday, James Clerk Maxwell, Hainrich
Hertz, dan masih banyak lagi.
Radio tepatnya radio siaran (Broadcasting radio)
merupakan salah satu jenis media massa (mass media) yakni sarana atau
saluran komunikasi massa (Channel mass communication) seperti halnya
surat kabar, majalah, maupun televisi. Salah satu ciri khas radio adalah auditif
yaitu dikomsumsi telinga atau pendengaran, atau cara kerjanya adalah
memperdengarkan suara manusia untuk mengutarakan sesuatu.[22]Salah
satu yang terpenting dalam dunia radio adalah adanya komunikasi antara penyiar
dengan pendengar. Bereleson dan Stainer mengemukakan tentang komunikasi dalam
dunia siaran adalah transmisi informasi, ide, emosi, keterampilan, dan
sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol. Sementara Oliver, Zelko dan
Holtzman komunikasi dunia penyiaran adalah merupakan gambaran anda tentang
stimulasi dan pikiran orang lain atas kesadaran, pemahaman, dan perasaan anda
akan pentingnya peristiwa, perasaan, fakta, opini atau situasi.[23]
Dua teori yang dikemukakan memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dalam
mendefenisikan komunikasi, kesamaan atau kesepakatan mereka setidaknya Nampak
dalam memahami komunikasi sebagai proses, transaksional, dan simbolik.
Sesuai dengan anjuran pemerintah dalam hal ini adalah
Kemetrian Komunikasi dan Informatika, serta Komisi Penyiaran Indonesia /Daerah
bahwa setiap lembaga penyiaran wajib melakukan siaran sebanyak 30% atau lebih
untuk siaran informasi/berita smentara 30% untuk pendidikan, budaya, politik,
ekonomi dan lainya, adapun hiburan sebanyak 20% dan selebihnya 20% untuk siaran
daerah atau siaran lebih kepada komunitasnya sendiri.
Siaran radio
dalam kegiatan pendidikan mengandung dua jenis kegiatan, siaran radio yang mengandung unsur pendidikan dan siaran
radio untuk
pendidikan. Media radio dalam kegiatan instruksional dimaksudkan sebagai kegiatan belajar yang
berkisar antara belajar formal di kelas sampai pada kegiatan belajar secara individual. Untuk mengisi kegiatannya
antara dua titik
bentangan ini, media radio dalam proses pembelajarannya memerlukan perancangan program yang
matang. Desain kegiatan instruksionalnya harus memenuhi segala kebutuhan aspek
kegiatan pembelajaran yang komunikatif untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam kurikulernya.
Media siaran
radio dalam aplikasi teknologi pendidikan dimanfaatkan pada empat proyek kegiatan belajar
yang menurut Wilbur Schramm dalam bukunya ”Big
Media, Little Media” diarahkan dalam kegiatan pembaharuan dalam pendidikan, pemanfaatan media dalam perluasan sekolah dan pemanfaatan untuk
kegiatan pendidikan non formal. Peranan
media radio dalam kegiatan pembekajaran, bisa berperan sebagai suatu kegiatan yang mandiri,
atau melengkapi media utama lainnya, ataupun sebagai media utama yang dibantu dengan media-media lainnya
atau bersama-sama
dengan media lainnya. Peranan media radio dalam sistem pembelajaran jarak jauh adalah
sebagai salah satu media penunjang terhadap media utama, yaitu modul, serta bekerjasama dengan media lainnya.
Media radio sebagai satu sub sistem
pembelajaran jarak jauh dirancang dengan mempertimbangkan pertentangan antara potensi yang dimiliki dan pemanfaatan kegiatan pendidikan yang
akan dilakukan; antara kemampuan yang dimiliki media audio dalam memperbakiki kualitas pembelajaran. Munculnya gagasan mengenai media
komunitas sesungguhnya berakar dari
kritik-kritik terhadap pendekatan komunikasi model liberal/mekanistik/vertical/linear
yang banyak dipakai dalam proses pembangunan. Asumsi dasarnya adalah bahwa akar permasalahan bagi
dunia ketiga dan penduduknya (perilaku, nilai-nilai yang tidak inovatif,
rendahnya produktivitas dan lain-lain) adalah berakar dari kurangnya pendidikan
dan informasi.
Konsekuensinya akar permasalahan yang dihadapi dunia ketiga akan selesai jika informasi
ditingkatkan. Atas dasar itu, system media massa yang ada lantas dirancang pesannya secara baku dan atas ke bawah.
Masyarakat
penerima pesan dianggap pasif dan ditempatkan sebagai objek. Inilah yang kalau menggunakan istilah
Paulo Freire disebut sebagai “model
komunikasi gaya bank” (banking system). Artinya, komunikasi dimana segelintir orang “pintar”
memberi pesan, mengalihkan “tabungan” pengetahuan, nilai dan norma-norma mereka kepada masyarakat “bodoh” sebagai penerima pesan, agar kelak
mereka “membelanjakan” segenap tabungan
tersebut untuk kehidupan dan gaya hidup “modern”. Akibatnya masyarakat atau komunitas
teralienasi dari konteks structural dan kulturalnya. Masyarakat juga kehilangan control atas media dan
isinya Media
komunitas, secara sederhana biasanya didefinisikan sebagai media dari, oleh dan untuk komunitas. Tetapi istilah komunitas itu sendiri setidaknya
mengacu pada dua hal. Pertama, komunitas dalam pengertian geografis misalnya Desa Cimanggis atau Kecamatan Cibinong. Kedua, komunitas
dalam pengertian psikologis, yaitu komunitas yang terbentuk atas dasar identitas yang sama, atau minat,
kepentingan, kepedulian
terhadap hal yang sama. Contohnya adalah komunitas buruh, petani, penggemar
sepeda, etnis dayak, dan
sebagainya. Jadi, radio komunitas adalah radio yang dirancang dan dioperasikan oleh, dengan,
untuk, dan dari komunitas itu sendiri (by, with, for and of the people). Di dalam
konteks ini, penyiaran komunitas merepresentasikan pengembangan komunikasi dua arah secara massal
untuk mencapai
perubahan dan pembangunan manusia secara holistik.
Pendekatan radio berbasis komunitas, bukan
mengisolasi audiennya, melainkan membangun hubungan antara penyiar dan masyarakat pendengar pada dimensi yang lain. Konsep penyiaran komunitas
membawa sebuah misi, orientasi, komitmen
dan perhatian berdasarkan perkembangan kebutuhan masyarakat. Radio Komunitas
merupakan radio penyiaran yang didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial,
dengan daya pancar rendah,
luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.
Sebagimana
telah dijelaskan sebelumya Penyiaran radio komunitas diselenggarakan: (1) tidak
untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang
mencari keuntungan semata; dan (2) untuk mendidik dan memajukan masyarakat
dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi
budaya, pendidikan, dan informasi yang menggambarkan identitas bangsa.[24]
Sistem pembelajaran
jarak jauh yang mamanfaatkan penyiaran radio komunitas memiliki beberapa keunggulan15 sebagai berikut: (1) biaya penyiaran radio cenderung lebih
murah ketimbang televisi. Radio dapat digunakan di negara-negara berkembang
yang secara geografis maupun ekonomis memiliki banyak keterbatasan; (2) daya
jangkau/pancar atau program radio mampu menjangkau wilayah dan populasi yang
lebih luas; (3) memiliki nilai fleksibilitas; memiliki kekuatan dan efek
dramatis serta dapat divariasikan
dengan musik, diskusi, dan lain-lain; (4) sebagai imagination stimulatory. Pendengar
bebas menggunakan imaginasinya untuk menciptakan image.
Dalam konteks
yang lain, sistem pembelajaran jarak jauh berbasis radio komunitas
dikonseptualisasikan berdasarkan kerangka kerja komunikasi pembangunan yang
memiliki tujuan terbatas untuk pemberdayaan rakyat melalui pembangunan
masyarakat dan penguatannya. Kerangka kerja konseptual teoritik ini berguna
untuk mengarahkan aktivitas penyiaran
radio selama dan setelah produksi. Kerangka kerja ini dapat menjadi model untuk mengarahkan dan
mendorong aktivitas pembangunan melalui
community-based radio distance learning system.
III.
Penutup
A. Kesimpulan
Pemanfaatan
radio komunitas untuk perluasan pendidikan nonformal diyakini mampu memberikan kontribusi
positif terhadap praktek pendidikan non formal. Sebagai media massa yang memiliki keluasan jangkauan
dan jaringan, radio komunitas diharapkan mampu menjembatani berbagai keterbatasan
yang dihadapi oleh institusi penyelenggara layanan Pendidikan Non Formal,
maupun hambatan yang dialami oleh komunitas sebagai sasaran Wajar Dikdas 9
Tahun. Dalam keterbatasan lokasi, ruang
dan waktu, komunitas
sasaran diharapkan mampu akses, berpartisipasi, dan mengelola sendiri radio komunitas sebagai
media pembelajaran yang efektif.
Radio
komunitas, disamping diharapkan mampu memberikan layanan pembelajaran yang terencana,
fleksibel, dan memberikan ruang yang luas terhadap komunitas, media ini juga diharapkan memiliki peran lain
dalam upaya ikut
serta membangun dan memberdayakan masyarakat secara keseluruhan.
Dibalik kesiapan radio komunitas peran dua instansi
sangat diharapkan dalam masalah izin radio yaitu KPI dan KemKeminfo, dua
lembaga inilah yang menjadikan pondasi awal dalam melakukan penyiaran, dengan
beberapa langkah yang harus dilewati dalam masalah perizinan jika berdasarkan
aturan perundangan yang ada maka pemerintah akan tetap menjadi pilar
kebangkitan penyiaran yang sehat dan berkualitas.
B. Saran
Semoga dengan tulisan jurnal ini ketrbatasan dalam
menyerap informasi terutama ilmu pengetahuan bagi masyarakat dapat terjawab
melalui adanya media radio komunitas salah satunya.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari Muhammad At Tamimi, Abuya Sistem
Pendidikan Yang Melibatkan Pribadi Agung, Cet.I; Jakarta: Media Ikhwan,
tth.
Hawes, H.W.R. Lifelong Education, Schools and Curicula in Developing
Countris. Hamburg: Unesco Institute for Education. 1976.
Judhariksawan, Hukum Penyiaran, Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2010.
Kementrian Komunikasi dan
Informatika/Dirjen Sumber daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Konsultasi
Publik ‘’Worshop manajemen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Sorong:
Mariat Hotel 2012
Keputusan Presiden Republik Indonesia
tentang Peraturan Penyiaran Radio dan Televisi tahun 2005
Kementrian Agama RI, Alamanak Djawatan
Pendidikan Agama, Djakarta: Perdana. N.V 1959
Nugroho, Agoeng, Tekhnologi Komunikasi, Cet.I; Yogyakarta: Graha
Ilmu 2010.
Rahman. Abd, Peran Pendidikan Islam
dalam Pembentukan Moral Bangsa, dalam Jurnal Kependidikan Al-Riwayah
Vol. IV, No.2 Desember, Sorong: STAIN Sorong 2011
Santoso, Edi, Teori Komunikasi, Ed.I; Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010.
Suharsaputra, Uhar, Administrasi
Pendidikan, Cet.I; Bandung: Rafika Aditama, 2010.
Syamsul M. Romli, Asep Dasar-Dasar
Siaran Radio, Cet.I; Bandung: Nuansa, 2009
-----------------------, Broadcast Jurnalism, Cet.I; Bandung:
Nuansa, 2010
Winarko, Jarot, Anak cerdas Ceria
Berakhlak, Cet.III; Banten: Happy Holy Kids, 2007.
Yusuf, Muhammad Kajian Horison Al-Qur’an
(Pendekatan dan metode), Ed.I; Sorong: Pustaka Rafana STAIN Sorong, 2011
[1]
Lahir di Watampone, tinggal di
Sorong sebagai Mahasiswa STAIN Sorong Jurusan Dakwah Prodi Komunikasi Penyiaran
Islam
[2] Kementrian Agama RI, Alamanak Djawatan Pendidikan
Agama, (Djakarta: Perdana. N.V 1959) h. 158
[3] Ibid, h. 163
[4] Abd Rahman, Peran Pendidikan Islam dalam
Pembentukan Moral Bangsa, dalam Jurnal Kependidikan Al-Riwayah Vol.
IV, No.2 Desember, (Sorong: STAIN Sorong 2011), h.17-18
[5] Muhammad Yusuf, Kajian Horison Al-Qur’an
(Pendekatan dan metode), (Ed.I; Sorong: Pustaka Rafana STAIN Sorong, 2011),
h. 115
[6] Abuya Ashari Muhammad At Tamimi,Sistem Pendidikan
Yang Melibatkan Pribadi Agung, (Cet.I; Jakarta: Media Ikhwan, tth), h.
16-17
[7] Uhar Suharsaputra, Administrasi Pendidikan, (Cet.I;
Bandung: Rafika Aditama, 2010), h. 30-31
[8] Hawes,
H.W.R. Lifelong Education, Schools and Curicula in Developing
Countris. (Hamburg: Unesco
Institute for Education. 1976), h.177
[9] Ibid, 177-178
[10] Ibid
[11] Jarot Winarko, Anak cerdas Ceria Berakhlak, (Cet.III;
Banten: Happy Holy Kids, 2007), h.28-29
[12] Abd Rahman, Peran Pendidikan Islam dalam
Pembentukan Moral Bangsa, dalam Jurnal Kependidikan Al-Riwayah Vol.
IV, No.2 Desember, (Sorong: STAIN Sorong 2011), h.19
[13] Judhariksawan, Hukum Penyiaran, (Cet.I;
Jakarta: Raja Grafindo Persada 2010), h.3
[14] Agoeng Nugroho, Tekhnologi Komunikasi, (Cet.I; Yogyakarta:
Graha Ilmu 2010), h. 8
[15] Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang
Peraturan Penyiaran Radio dan Televisi tahun 2005
[16] Asep Syamsul M. Romli, Dasar-Dasar Siaran Radio,
(Cet.I; Bandung: Nuansa, 2009), h. 247-248
[17] Kementrian Komunikasi dan Informatika/Dirjen Sumber
daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Konsultasi Publik ‘’Worshop
manajemen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, (Sorong: Mariat
Hotel 2012)
[18]
Otje Salman Soemadiningrat, Teori Hukum
Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2004,
h. 109
[19]
Judariksawan,op.cit.
h.24
[20]
Wawancara dengan bapak Medi,
Kepala Kordinator bagian Trantib POSMON SFR Sorong
[21] Asep Syamsul lot.cit h.12
[22] Asep Syamsul M. Romli, Broadcast Jurnalism, (Cet.I;
Bandung: Nuansa, 2010), h. 19
[23] Edi Santoso, Teori Komunikasi, (Ed.I;
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h.6
[24] Lihat, Asep Syamsul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar