Kamis, 19 September 2013



PEMERTAHANAN BAHASA
A. Konsep Pemertahanan Bahasa
Di atas telah dijelaskan bahwa pergeseran bahasa terjadi perpindahan penduduk, ekonomi, sekolah. Akan tetapi, terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa pertamanya dalam berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka adalah masyarakat minoritas.
Dalam pemertahanan bahasa, komunitas secara kolektif memutuskan untuk terus menggunakan bahasa tersebut atau bahasa itu telah digunakan secara tradisional. Ketika sebuah komunitas tutur mulai memilih bahasa baru dalam daerah sebelumnya dicadangkan untuk yang lama, ini mungkin merupakan tanda bahwa pergeseran bahasa sedang berlangsung. Jika anggota komunitas tutur adalah monolingual dan tidak memperoleh bahasa lain secara kolektif, maka mereka jelas mempertahankan pola penggunaan bahasa mereka. Pemertahanan, bagaimanapun, sering merupakan karakteristik dari komunitas dwi bahasa atau  juga multi bahasa. Hal ini hanya terjadi ketika komunitas mengalami diglossic. Dalam kata lain adalah bahwa komunitas multibahasa bahasa-bahasa menjaga setiap cadangan untuk daerah tertentu dengan perambahan sangat sedikit monolingual di daerah yang lain (Fasol).
Pemertahanan bahasa (language maintenance) berkaitan dengan masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa lainnya. Kridalaksana mengartikan “usaha agar suatu bahasa tetap dipakai dan dihargai, terutama sebagai identitas kelompok, dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan melalui pengajaran, kesusastraan, media massa, dan lain-lain.
Pergeseran bahasa secara sederhana berarti bahwa komunitas memberikan sebuah bahasa tempat yang lebih baik dibandingkan yang lain. Anggota komunitas, ketika pergeseran telah terjadi, telah memilih bahasa baru dimana yang lama tidak lagi digunakan (Fasold).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono tentang penggunaan bahasa Melayu Loloan yang digunakan di desa Lolan, Bali. Mereka dapat bertahan karena hal-hal sebagai berikut: (1) wilayah yang terpisah dari wilayah pemukiman mayoritas Bali, (2) adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas, (3) anggota masyarakat Loloan mempunyai sikap Keislaman tidak akomodatif terhadap masyarakat, (4) adanya loyalitas tinggi dari anggota masyarakat Loloan terhadap bahasa Melayu Loloan sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam, (5) adanya kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Pemeliharaan bahasa, di sisi lain, merujuk kepada situasi dimana komunitas penutur, dibawah keadaan yang mendukung terjadinya pergeseran bahasa, tetap berpegang pada bahasa tersebut. Contohnya, penyebaran bahasa Korea kepada generasi selanjutnya di Korea Selatan bukan merupakan hasil dari pemeliharaan bahasa, tetapi di Jepang, yang mempunyai minoritas orang Korea sekitar 600.000 orang, itu merupakan pemeliharaan bahasa (Maher dan Kawanishi 1995). Tidak ada kontak bahasa di Korea Utara yang dapat mengakibatkan pergeseran bahasa, tetapi di Jepang, orang Korea melakukan kontak langsung dengan orang Jepang, secara virtual semua orang tersebut menggunakan dwi bahasa. Joshua Fishman, yang lebih dari siapapun meletakkan dasar untuk investigasi ilmiah mengenai pergeseran bahasa, menyatakan arah umum riset tersebut:
Studi mengenai pemeliharaan bahasa dan pergeseran bahasa berhubungan dengan hubungan antara perubahan dan stabilitas dalam kebiasaan penggunaan bahasa, di satu sisi, dan proses psikologi, sosial, dan budaya yang terus menerus, di sisi lain, ketika populasi yang berbeda bahasa berhubungan satu sama lain (Fishman 1964: 32)B. Contoh pemertahanan bahasa di Indonesia
Berkaitan dengan hal ini, kita ambil contoh dari penelitian Aboe Bakar (1985) terhadap Bahasa Cina dan Bahasa Aceh, di Aceh. Abu Bakar meneliti pemertahanan bahasa Cina di Peunayong, Banda Aceh. Etnis yang sudah ada di Sumatera sejak abad ke-6 ini telah membuktikan bahwa meskipun berposisi sebagai masyarakat minoritas, mereka ternyata tetap mampu mempertahankan keberadaan bahasa mereka yaitu bahasa Cina. Hal ini ditandai oleh mampunya anak-anak mereka dalam berbahasa Cina padahal peralihan generasi masyarakat ini sudah cukup lama. Yang perlu digarisbawahi adalah bahasa Cina yang dikuasai oleh masyarakat Cina di Peunayong ini adalah bahasa Haak (barangkali dapat dikatakan dialek). Memang belum ada penelitian lebih lanjut tentang pemertahanan bahasa Cina dialek Haak di Peunayong. Akan tetapi, Abu Bakar sempat beberapa kali melakukan observasi. Dalam observasi itu Abu Bakar sangat sering melihat anak-anak etnis Tionghoa ini berinterkasi dengan menggunakan bahasa Cina dialek Haak ini. Selain itu juga, dalam ranah keluarga kasus yang sama juga penulis temukan. Antara ayah dan ibu, orang tua dan anak-anak, mereka sama-sama berinteraksi dengan menggunakan bahasa Cina dialek Haak sebagai perantara meskipun tak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat Cina di Peunayong tidak mampu berbahasa Mandarin.
Yang menarik adalah meskipun mereka merupakan masyarakat minoritas, sebagian masyarakat etnis Tionghoa ini mampu menguasai bahasa Aceh dengan baik bahkan dapat dikatakan kefasihan mereka berbahasa Aceh mampu menandingi penutur asli bahasa Aceh sendiri walaupun tak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula sebagian masyarakat etnis Tionghoa itu hanya memahami bahasa Aceh, tetapi tidak mampu melafalkannya. Apakah bahasa Cina etnis Tionghoa ini telah mengalami pergeseran? Sejauh ini setahu penulis belum ada yang meneliti. Akan tetapi, dari gejala-gejala yang teramati sekarang, tampaknya bahasa ini belum mengalami pergeseran karena ia masih digunakan sesuai dengan fungsi.
Ketika berinteraksi dengan masyarakat etnis Aceh, masyarakat etnis Tionghoa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Aceh sebagai perantara. Namun, bahasa yang dipakai akan berbeda ketika masyarakat etnis Tionghoa ini berinteraksi dengan sesama mereka. Dalam konteks ini bahasa yang mereka pakai tetap bahasa Cina.
Pemertahanan bahasa Aceh sebagai bahasa pertama juga dapat dikatakan masih baik. Namun, berkaitan dengan pemertahanan bahasa Aceh ini Abu Bakar memberikan batasan antara pemertahan bahasa Aceh di kota dan pemertahanan bahasa Aceh di desa.Jika dibandingka dengan di kota, pemertahanan bahasa Aceh di desa jauh lebih baik. Sangat sedikit didapati anak-anak desa yang tidak mampu berbahasa Aceh. Hal ini tentu saja terjadi karena orang tua dalam lingkungan keluarga berinteraksi dengan sang anak menggunakan  bahasa Aceh. Dengan demikian, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua bagi si anak dan umumnya bahasa ini diperoleh si anak ketika ia telah berada di bangku sekolah. Kasus ini akan sangat berbeda dengan kasus yang terjadi di kota. Di kota pemertahanan bahasa Aceh cenderung lebih memudar. Banyak didapati anak-anak di kota yang tidak mampu berbahasa Aceh padahal orang tua mereka kedua-duanya adalah penutur bahasa Aceh. Faktor penyebabnya seperti tuntutan sekolah. Banyak guru di sekolah perkotaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam proses pembelajaran. Hal ini menimbulkan anggapan bagi orang tua bahwa sang anak harus diajarkan bahasa Indonesia. Jika tidak diajarkan, anak dianggap akan terhambat memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Kasus pemertahanan bahasa juga terjadi pada masyarakat Loloan yang berada di Bali. Kasus pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini disampaikan oleh Sumarsono (Chaer, 2004:147). Menurut Sumarsono, penduduk desa Loloan yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu tidak menggunakan bahasa Bali, tetapi menggunakan sejenis bahasa Melayu yang disebut bahasa Melayu Loloan sejak abad ke-18 yang lalu ketika leluhur mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak tiba di tempat itu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Melayu Loloan. Pertama, wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis aak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali. Kedua, adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali untuk menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali. Ketiga, anggota masyarakat Lolan mempunyai sikpa keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Lolan ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyakat Loloan yang minoritas dan masyarakat Bali yan mayoritas. Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya bahasa Bali dalam berinteraksi intrakelompok dalam masyarakat Loloan. Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari masyarakat Melayu Loloan sebagai konsekuaensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam; sedangkan bahasa Bali dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Bali yang beragama Hindu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolah untuk kegiatan-kegiatan intrakelompok terutama dalam ranah agama. Kelima, adanya kesinambungan pengalian bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke genarasi berikutnya.
Masyarakat Melayu Loloan ini, selain menggunakan bahasa Melayu Loloan dan bahas Bali, juga menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diperlakukan secara berbeda oleh mereka. Dalam anggapan mereka bahaa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bahasa Bali. Bahasa Indonesia tidak dianggap memiliki konotasi keagamaan tertentu. Ia  bahkan dianggap sebagai milik sendiri dalam kedudukan mereka sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak keberatan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
C. Hubungan Pergeseran dan Pemertahanan
Faktor yang menentukan terjadinya (pergeseran) dan pemertahanan: (1) arena mikro sosial keluarga sebagai agen spontan penyebaran bahasa antargenerasi; dan (2) arena makro sosial perkampungan kelompok dalam teritori. Kekuatan mutlak demografi dari suatu keompok mempunyai arti sedikit jika anggotanya terpencar luas, menyediakan hanya sedikit pengaturan sosial untuk menggunakan bahasanya diluar keluarga. Dan jika bahasa berhenti disalurkan secara domestik, dasar dari keberlanjutan tradisi menjadi rusak. Faktor sosial makro dan mikro yang diinteraksikan dalam keluarga dipengaruhi dalam penggunaan bahasa mereka oleh komunitas sekitar. Keluarga dan area perumahan minoritas yang terpusat adalah domain dan teritori bahasa. Situasi kontak bahasa dibedakan dalam hal pemisahan, menegakkan dan invasi pada domain.
Dibawah kondisi normal satu pendatang baru tidak dapat membuat penutur asal mengubah menjadi bahasa mereka karena penutur asal dapat berkomunikasi lebih mudah diantara mereka dengan menggunakan bahasa asal mereka. Pendatang baru, meskipun begitu, mempunyai kecenderungan jika tidak untuk mengasimilasi setidaknya untuk mengadopsi bahasa komunitas pribumi. Bagaimanapun, dalam pengaturan sosial yang dikarakterisasikan oleh kekuatan ekstrim yang berbeda seperti karakteristik situasi penjajahan, minoritas kecil dapat mnginvasi teritori bahasa karena anggota tertentu dari pribumi, tunduk kepada penjajah dengan menggunakan bahasa mereka. Prinsip cuius region, euis lingua ‘siapa yang berkuasa, siapa yang berbicara’ dapat dilihat disini.
            Contoh lainnya dari invasi yang sukses, pertimbangkan pengaturan konferensi ilmiah di negara kecil seperti Belanda. Dalam pengaturan seorang partisipan penutur non-Belanda akan menggunakan bahasa Inggris yang pernah menginvasi teritori Belanda. Teori akomodasi komunikasi terhitung untuk cara dimana individu memodifikasi sikap cara berbicara mereka dalam hubungannya  dengan teman berbicara (Fasold:P.139). Partisipan konferensi Belanda yang memilih bahasa Inggris dapat dijelaskan dalam hal pemilihan lingua franca untuk domain sains internasional dalam cara akomodasi. Bagaimanapun, pada saat yang sama iini merupakan contoh invasi domain jika domain referensinya adalah academia Belanda. Dalam kasus tertentu ini, invasi domain difasilitasi oleh kenyataan bahwa wacana ilmiah merupakan satu dari domain yang paling rentan terhadap serangan globalisasi.

D. Metodologi dalam  Pergeseran dan Pemertahanan
Seperti kajian pemilihan bahasa, pemertahanan dan pergeseran bahasa dipelajari dengan metode yang berbeda, tergantung pada disiplin akademiknya. Antropolog dan ahli bahasa antropologi menggunakan metode yang sama, terutama observasi-peserta, sebagaimana yang mereka gunakan dalam penelitian pemilihan bahasa. Bahkan, peneliti antropologis biasanya berorientasi pada kajian pilihan bahasa dan pemertahanan dan pergeseran sekaligus sebagai bagian dari fenomena yang sama. Ketertarikkan tradisional seorang antropolog dalam kajian intensif terhterdapatp setiap komunitas individu membuat pendekatan ini beralasan. Pilihan-pilihan yang dibuat oleh anggota komunitas tutur tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai budaya mereka, menambah pergeseran atau pemertahanan dalam komunitas tersebut. Pencarian penyebab-penyebab umum atau universal untuk pemertahanan dan pergeseran bahasa akan diambil dari penelitian terhterdapatp sejumlah penyelidikan intensif pada setiap komunitas individu.
Dalam sosiologi, pendekatannya sangat berbeda. Sosiolog cenderung mengambil pandangan yang jauh lebih luas dari seluruh masalah. Daripada intensif mempelajari suatu komunitas tertentu untuk menemukan penjelasan mengapa bahasa itu bergeser atau tidak, mereka biasanya lebih memilih untuk memeriksa data survei mulai dari sebanyak mungkin komunitas. Data mereka tidak seperti catatan pengamatan antropolog, tetapi kemungkinan besar akan kembali dari sensus atau survei kuesioner lainnya. Terdapat dua cara pergeseran yang dapat muncul pada data survei. Jika terdapat data yang tersedia dari populasi yang sama lebih dari satu kali (biasanya data sensus), dan terdapat penurunan yang signifikan pada jumlah responden yang melaporkan suatu bahasa tertentu, hal itu mungkin merupakan sinyal pergeseran. Jika data sensus tidak memadai atau tidak tersedia, one-shot survei mungkin harus lakukan. Hal yang harus dicari adalah jumlah distribusi-usia. Jika penutur yang lebih tua menggunakan suatu bahasa, dan penutur muda menggunakan bahsa yang lain, maka hal ini bisa menjadi indikasi pergeseran. Bahaya dari melompat pada kesimpulan berdasarkan data semacam ini yaitu ketidakakuratan (Lieberson 1980, Mackey dan Cartwright 1979). Dua masalah utama dalam menafsirkan hasil survei one-time  berhubungan dengan tingkat usia dan migrasi.
Jika terdapat pergeseran asli yang terjadi, pasti penutur yang lebih tua yang menggunakan bahasa yang menurun akan muncul dalam proporsi yang lebih besar dari penutur muda. pergeseran Bahasa, bagaimanapun, tidaklah satu-satunya cara yang berkaitan dengan perbedaan usia bisa timbul. Hal ini sering terjadi bahwa perilaku bahasa yang berbeda yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu komunitas pada usia yang berbeda. Dalam sebuah komunitas dengan diglosia, anak-anak belajar bahasa Rendah pertama. Akibatnya, hampir semua anak kecil mungkin monolingual dalam bahasa itu. Ketika mereka tumbuh dewasa, beberapa akan memperoleh bahasa Tinggi. Data survei yang menunjukkan tingkat tinggi monolingualisme di  kalangan anak-anak muda dan tingkat tinggi bilingualisme antara orang dewasa tidak bisa diartikan bahwa bahasa Tinggi niscaya sekarat keluar. Banyak anak-anak monolingual mungkin akan belajar itu saat mereka memasuki sekolah dan mulai berfungsi dalam daerah Tinggi. Singkatnya, penutur muda mungkin monolingual pada awal hidupnya, tapi berasumsi bahwa mereka akan tetap demikian sepanjang hidup mereka adalah hal yang bodoh. Lieberson (1972, 1980: 14-15) melaporkan kasus bilingualisme dari  Perancis-Inggris di Montreal yang menunjukkan bagaimana data korelasi umur pada bilingualisme bisa menyesatkan, bahkan di dalam jangka hidup orang dewasa. Kami akan meperlihatkan kasus ini secara rinci dalam bab ini.
Migrasi merupakan faktor pengganggu dalam data survei. Sejauh orang berpergian masuk atau keluar dari suatu wilayah antar sensus, hasil untuk daerah tersebut tidak menunjukkan apakah penutur individu meninggalkan atau menjaga bahasanya, karena data akan populasi sebagian besar  berbeda dalam dua sensus. Tentu saja, sebuah wilayah geografis dapat dikatakan akan mengalami pergeseran bahasa jika sejumlah besar penutur bahasa lain beberapa bergerak dalam, bahkan jika tidak terdapat warga yang lebih tua yang belajar bahasa baru. Substansial dalam migrasi dapat memberikan tekanan pada warga yang lebih tua untuk belajar bahasa dari kelompok yang masuk, terutama jika mereka menguasai lembaga-lembaga ekonomi dan sosial. Tapi bisa jadi bahwa data daerah benar-benar sebuah penggabungan data pada dua komunitas tutur yang kebetulan tinggal di wilayah geografis yang sama. Satu komunitas mungkin akan mempertahankan dua bahasa sedangkan yang lain hanya salah satu diantaranya, dan komunitas tidak memiliki pergeseran sama sekali. Bahkan tanpa migrasi, tentu saja data survei dengan mudah dapat mencampur data dari lebih dari satu komunitas tutur.
Kita telah melihat dua masalah yang lebih umum yang mengganggu data survei. Data survei hampir selalu berupa laporan diri, yang membuat mereka agak dicuriga, tapi, seperti ramalan cuaca, data laporan diri  tidak juga selalu salah. Ingat bahwa Gal (1979) menemukan hal ini ketika hasil surveinya sangat berkorelasi dengan pengamatannya. Masalah lain dalam menggunakan data survei pada pergeseran bahasa dihubungkan dengan penemuan penyebab. Tidak seperti observasi partisipan antropologi, sangat tidak mungkin data survei memberikan nilai informasi dan budaya. Oleh karena itu, diperlukan pencarian penyebab terukur, seperti urbanisasi, migrasi, atau pergeseran dalam indikator ekonomi. Bahkan hubungan antara nilai-nilai yang terukur tersebut dan bukti statistik dalam penurunan jumlah penutur bahasa tertentu, jika ditemukan, tidak akan mendirikan hubungan sebab. Dalam bab 5, kita memeriksa beberapa karya Lieberson dan rekan-rekannya yang menunjukkan bagaimana korelasi tersebut dapat menyesatkan (Lieberson dan Hansen 1974: Liberson, Dalto, dan Johnston 1975). Terlepas dari semua ini, penggunaan data survei secara hati-hati adalah alat yang berharga dalam memahami pemertahanan dan pergeseran. Penggunaan data survei tambahan oleh  sociolinguists yang lebih berorientasi pada antropologi seperti Gal (1979), Dorian (1981), dan Huffines (1980) adalah bukti tidak langsung bahwa hal ini benar.
Terdapat penelitian sosiologis tentang pemertahanan bahasa dan pergeseran jenis lain yang mencari generalisasi faktual dan teoritis tanpa jalan langsung ke data tertentu. Perbandingan  Tabouret-Keller (1968)   mengenai  pola pergeseran dan  pemertahanan Eropa dan Afrika  dan analisis Verdoodt (1972)  mengenai tiga situasi hubungan Jerman-Perancis di Eropa Barat adalah dua contoh penelitian tersebut. Pada jenis penelitian ini, fakta-fakta kasus sebagian besar bersyarat dan peneliti ​​harus menganalisis yang sebenarnya. Walaupun penelitian berbasis data cenderung lebih meyakinkan, kajian 'melangkah mundur dan melihat' ini dapat menjadi sangat layak dilakukan.
E. Sejumlah Hasil Penelitian Kasus Pergeseran dan Pemertahanan
1.    Negara negara berkembang
Meskipun Fishman (1964) menyebutkan perhatian pada pemertahanan dan pergeseran bahasa sebagai fenomena yang dipelajari hampir dua puluh tahun yang lalu, topiknya telah mengilhami sedikit penelitian. Gal (1979) dan Dorian (1981) adalah yang pertama menyediakan monografi-panjang penyelidikan pergeseran bahasa dalam komunitas tertentu secara luas. Sejumlah laporan pendek penelitian pemertahanan dan pergeseran telah muncul baru-baru ini, namun kasus Eropa dan Amerika Utara telah menerima perhatian yang besar. Ini akan memicu minat yang besar untuk memiliki penelitian mendalam tentang fenomena di negara berkembang, untuk melihat persamaan dan perbedaan yang dapat dibandingkan dengan kasus bangsa barat. Berdasarkan tinjauan yang luas terhadap instansi Eropa dan Amerika, Tabouret-Keller (1968: 117) menyimpulkan bahwa terdapat lebih banyak perbedaan dari kesamaan ketika Eropa sekarang dibandingkan dengan Afrika saat ini. Meskipun pandangan historis akan menunjukkan 'lebih banyak analogi daripada perbedaan, asalkan kita membandingkan transformasi Afrika saat ini dengan transformasi saat menjelang akhir abad kesembilan belas di Eropa'. Di antara kajian yang tersedia di negara-negara berkembang yaitu tinjauan umum pemertahanan dan pergeseran di Filipina (Asuncion-Lande dan Pascasio 1979), satu set di Singapura (Chong 1977), dan survei Lieberson dan McCabe (1978) riset di Nairobi. Selain itu, terdapat banyak yang harus dipelajari tentang pemertahanan dan pergeseran dalam laporan negara-negara berkembang yang berfokus pada topik lain; penelitian Abdul Mkilifi (1978)  di Tanzania, dan Kuo(1979)  dan Platt (1977) di Malaysia adalah contoh kita telah ditemui. Meskipun demikian, untuk sementara kita harus puas dengan penelitian mendalam yang tersedia dari Eropa dan Amerika Utara.
Negara-negara maju

Tidak ada komentar:

Posting Komentar