PEMERTAHANAN BAHASA
A. Konsep Pemertahanan Bahasa
Di atas telah
dijelaskan bahwa pergeseran bahasa terjadi perpindahan penduduk, ekonomi,
sekolah. Akan tetapi, terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa
pertamanya dalam berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka adalah
masyarakat minoritas.
Dalam
pemertahanan bahasa, komunitas secara kolektif memutuskan untuk terus
menggunakan bahasa tersebut atau bahasa itu telah digunakan secara tradisional.
Ketika sebuah komunitas tutur mulai memilih bahasa baru dalam daerah sebelumnya
dicadangkan untuk yang lama, ini mungkin merupakan tanda bahwa pergeseran
bahasa sedang berlangsung. Jika anggota komunitas tutur adalah monolingual dan
tidak memperoleh bahasa lain secara kolektif, maka mereka jelas mempertahankan
pola penggunaan bahasa mereka. Pemertahanan, bagaimanapun, sering merupakan
karakteristik dari komunitas dwi bahasa atau juga multi bahasa. Hal ini
hanya terjadi ketika komunitas mengalami diglossic. Dalam kata lain adalah bahwa
komunitas multibahasa bahasa-bahasa menjaga setiap cadangan untuk daerah
tertentu dengan perambahan sangat sedikit monolingual di daerah yang lain
(Fasol).
Pemertahanan bahasa
(language maintenance) berkaitan dengan masalah sikap atau penilaian terhadap
suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa
lainnya. Kridalaksana mengartikan “usaha agar suatu bahasa tetap dipakai dan
dihargai, terutama sebagai identitas kelompok, dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan melalui pengajaran, kesusastraan, media massa, dan lain-lain.
Pergeseran
bahasa secara sederhana berarti bahwa komunitas memberikan sebuah bahasa tempat
yang lebih baik dibandingkan yang lain. Anggota komunitas, ketika pergeseran
telah terjadi, telah memilih bahasa baru dimana yang lama tidak lagi digunakan
(Fasold).
Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Sumarsono tentang penggunaan bahasa Melayu Loloan yang digunakan
di desa Lolan, Bali. Mereka dapat bertahan karena hal-hal sebagai berikut: (1)
wilayah yang terpisah dari wilayah pemukiman mayoritas Bali, (2) adanya
toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu
Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas, (3) anggota masyarakat
Loloan mempunyai sikap Keislaman tidak akomodatif terhadap masyarakat, (4)
adanya loyalitas tinggi dari anggota masyarakat Loloan terhadap bahasa Melayu
Loloan sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi
lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam, (5) adanya
kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke
generasi berikutnya.
Pemeliharaan bahasa, di
sisi lain, merujuk kepada situasi dimana komunitas penutur, dibawah keadaan
yang mendukung terjadinya pergeseran bahasa, tetap berpegang pada bahasa
tersebut. Contohnya, penyebaran bahasa Korea kepada generasi selanjutnya di
Korea Selatan bukan merupakan hasil dari pemeliharaan bahasa, tetapi di Jepang,
yang mempunyai minoritas orang Korea sekitar 600.000 orang, itu merupakan
pemeliharaan bahasa (Maher dan Kawanishi 1995). Tidak ada kontak bahasa di
Korea Utara yang dapat mengakibatkan pergeseran bahasa, tetapi di Jepang, orang
Korea melakukan kontak langsung dengan orang Jepang, secara virtual semua orang
tersebut menggunakan dwi bahasa. Joshua Fishman, yang lebih dari siapapun
meletakkan dasar untuk investigasi ilmiah mengenai pergeseran bahasa,
menyatakan arah umum riset tersebut:
Studi mengenai pemeliharaan bahasa dan pergeseran bahasa berhubungan dengan hubungan antara perubahan dan stabilitas dalam kebiasaan penggunaan bahasa, di satu sisi, dan proses psikologi, sosial, dan budaya yang terus menerus, di sisi lain, ketika populasi yang berbeda bahasa berhubungan satu sama lain (Fishman 1964: 32)B. Contoh pemertahanan bahasa di Indonesia
Studi mengenai pemeliharaan bahasa dan pergeseran bahasa berhubungan dengan hubungan antara perubahan dan stabilitas dalam kebiasaan penggunaan bahasa, di satu sisi, dan proses psikologi, sosial, dan budaya yang terus menerus, di sisi lain, ketika populasi yang berbeda bahasa berhubungan satu sama lain (Fishman 1964: 32)B. Contoh pemertahanan bahasa di Indonesia
Berkaitan dengan hal
ini, kita ambil contoh dari penelitian Aboe Bakar (1985) terhadap Bahasa Cina
dan Bahasa Aceh, di Aceh. Abu Bakar meneliti pemertahanan bahasa Cina di
Peunayong, Banda Aceh. Etnis yang sudah ada di Sumatera sejak abad ke-6 ini
telah membuktikan bahwa meskipun berposisi sebagai masyarakat minoritas, mereka
ternyata tetap mampu mempertahankan keberadaan bahasa mereka yaitu bahasa Cina.
Hal ini ditandai oleh mampunya anak-anak mereka dalam berbahasa Cina padahal
peralihan generasi masyarakat ini sudah cukup lama. Yang perlu digarisbawahi
adalah bahasa Cina yang dikuasai oleh masyarakat Cina di Peunayong ini adalah
bahasa Haak (barangkali dapat dikatakan dialek). Memang belum ada penelitian
lebih lanjut tentang pemertahanan bahasa Cina dialek Haak di Peunayong. Akan
tetapi, Abu Bakar sempat beberapa kali melakukan observasi. Dalam observasi itu
Abu Bakar sangat sering melihat anak-anak etnis Tionghoa ini berinterkasi
dengan menggunakan bahasa Cina dialek Haak ini. Selain itu juga, dalam ranah
keluarga kasus yang sama juga penulis temukan. Antara ayah dan ibu, orang tua
dan anak-anak, mereka sama-sama berinteraksi dengan menggunakan bahasa Cina
dialek Haak sebagai perantara meskipun tak dapat dipungkiri bahwa banyak
masyarakat Cina di Peunayong tidak mampu berbahasa Mandarin.
Yang menarik adalah
meskipun mereka merupakan masyarakat minoritas, sebagian masyarakat etnis
Tionghoa ini mampu menguasai bahasa Aceh dengan baik bahkan dapat dikatakan
kefasihan mereka berbahasa Aceh mampu menandingi penutur asli bahasa Aceh
sendiri walaupun tak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula sebagian masyarakat
etnis Tionghoa itu hanya memahami bahasa Aceh, tetapi tidak mampu
melafalkannya. Apakah bahasa Cina etnis Tionghoa ini telah mengalami
pergeseran? Sejauh ini setahu penulis belum ada yang meneliti. Akan tetapi,
dari gejala-gejala yang teramati sekarang, tampaknya bahasa ini belum mengalami
pergeseran karena ia masih digunakan sesuai dengan fungsi.
Ketika berinteraksi
dengan masyarakat etnis Aceh, masyarakat etnis Tionghoa menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa Aceh sebagai perantara. Namun, bahasa yang dipakai akan
berbeda ketika masyarakat etnis Tionghoa ini berinteraksi dengan sesama mereka.
Dalam konteks ini bahasa yang mereka pakai tetap bahasa Cina.
Pemertahanan bahasa
Aceh sebagai bahasa pertama juga dapat dikatakan masih baik. Namun, berkaitan
dengan pemertahanan bahasa Aceh ini Abu Bakar memberikan batasan antara
pemertahan bahasa Aceh di kota dan pemertahanan bahasa Aceh di desa.Jika
dibandingka dengan di kota, pemertahanan bahasa Aceh di desa jauh lebih baik.
Sangat sedikit didapati anak-anak desa yang tidak mampu berbahasa Aceh. Hal ini
tentu saja terjadi karena orang tua dalam lingkungan keluarga berinteraksi
dengan sang anak menggunakan bahasa Aceh. Dengan demikian, bahasa
Indonesia menjadi bahasa kedua bagi si anak dan umumnya bahasa ini diperoleh si
anak ketika ia telah berada di bangku sekolah. Kasus ini akan sangat berbeda
dengan kasus yang terjadi di kota. Di kota pemertahanan bahasa Aceh cenderung
lebih memudar. Banyak didapati anak-anak di kota yang tidak mampu berbahasa
Aceh padahal orang tua mereka kedua-duanya adalah penutur bahasa Aceh. Faktor
penyebabnya seperti tuntutan sekolah. Banyak guru di sekolah perkotaan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam proses pembelajaran. Hal
ini menimbulkan anggapan bagi orang tua bahwa sang anak harus diajarkan bahasa
Indonesia. Jika tidak diajarkan, anak dianggap akan terhambat memahami materi
pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Kasus pemertahanan
bahasa juga terjadi pada masyarakat Loloan yang berada di Bali. Kasus
pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini disampaikan oleh Sumarsono (Chaer,
2004:147). Menurut Sumarsono, penduduk desa Loloan yang berjumlah sekitar tiga
ribu orang itu tidak menggunakan bahasa Bali, tetapi menggunakan sejenis bahasa
Melayu yang disebut bahasa Melayu Loloan sejak abad ke-18 yang lalu ketika
leluhur mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak tiba di tempat itu. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Melayu
Loloan. Pertama, wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu
tempat yang secara geografis aak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat
Bali. Kedua, adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali untuk
menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas
Loloan meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali. Ketiga,
anggota masyarakat Lolan mempunyai sikpa keislaman yang tidak akomodatif
terhadap masyarakat, budaya, bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah
dengan terkonsentrasinya masyarakat Lolan ini menyebabkan minimnya interaksi
fisik antara masyakat Loloan yang minoritas dan masyarakat Bali yan mayoritas.
Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya bahasa Bali dalam berinteraksi intrakelompok
dalam masyarakat Loloan. Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari
masyarakat Melayu Loloan sebagai konsekuaensi kedudukan atau status bahasa ini
yang menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam;
sedangkan bahasa Bali dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Bali yang
beragama Hindu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolah untuk
kegiatan-kegiatan intrakelompok terutama dalam ranah agama. Kelima, adanya
kesinambungan pengalian bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke
genarasi berikutnya.
Masyarakat Melayu
Loloan ini, selain menggunakan bahasa Melayu Loloan dan bahas Bali, juga
menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diperlakukan secara berbeda oleh
mereka. Dalam anggapan mereka bahaa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi daripada bahasa Bali. Bahasa Indonesia tidak dianggap memiliki konotasi
keagamaan tertentu. Ia bahkan dianggap sebagai milik sendiri dalam
kedudukan mereka sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak keberatan
menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
C. Hubungan Pergeseran
dan Pemertahanan
Faktor yang menentukan
terjadinya (pergeseran) dan pemertahanan: (1) arena mikro sosial keluarga sebagai agen spontan penyebaran bahasa
antargenerasi; dan (2) arena makro sosial perkampungan kelompok dalam teritori.
Kekuatan mutlak demografi dari suatu keompok mempunyai arti sedikit jika
anggotanya terpencar luas, menyediakan hanya sedikit pengaturan sosial untuk
menggunakan bahasanya diluar keluarga. Dan jika bahasa berhenti disalurkan
secara domestik, dasar dari keberlanjutan tradisi menjadi rusak. Faktor sosial
makro dan mikro yang diinteraksikan dalam keluarga dipengaruhi dalam penggunaan
bahasa mereka oleh komunitas sekitar. Keluarga dan area perumahan minoritas
yang terpusat adalah domain dan teritori bahasa. Situasi kontak bahasa
dibedakan dalam hal pemisahan, menegakkan dan invasi pada domain.
Dibawah kondisi normal
satu pendatang baru tidak dapat membuat penutur asal mengubah menjadi bahasa
mereka karena penutur asal dapat berkomunikasi lebih mudah diantara mereka
dengan menggunakan bahasa asal mereka. Pendatang baru, meskipun begitu,
mempunyai kecenderungan jika tidak untuk mengasimilasi setidaknya untuk
mengadopsi bahasa komunitas pribumi. Bagaimanapun, dalam pengaturan sosial yang
dikarakterisasikan oleh kekuatan ekstrim yang berbeda seperti karakteristik
situasi penjajahan, minoritas kecil dapat mnginvasi teritori bahasa karena
anggota tertentu dari pribumi, tunduk kepada penjajah dengan menggunakan bahasa
mereka. Prinsip cuius region, euis lingua ‘siapa yang berkuasa, siapa
yang berbicara’ dapat dilihat disini.
Contoh lainnya dari invasi yang sukses, pertimbangkan pengaturan konferensi
ilmiah di negara kecil seperti Belanda. Dalam pengaturan seorang partisipan
penutur non-Belanda akan menggunakan bahasa Inggris yang pernah menginvasi
teritori Belanda. Teori akomodasi komunikasi terhitung untuk cara dimana
individu memodifikasi sikap cara berbicara mereka dalam hubungannya dengan
teman berbicara (Fasold:P.139). Partisipan konferensi Belanda yang memilih
bahasa Inggris dapat dijelaskan dalam hal pemilihan lingua franca untuk domain
sains internasional dalam cara akomodasi. Bagaimanapun, pada saat yang sama
iini merupakan contoh invasi domain jika domain referensinya adalah academia
Belanda. Dalam kasus tertentu ini, invasi domain difasilitasi oleh kenyataan
bahwa wacana ilmiah merupakan satu dari domain yang paling rentan terhadap
serangan globalisasi.
D. Metodologi dalam Pergeseran dan
Pemertahanan
Seperti
kajian pemilihan bahasa, pemertahanan dan pergeseran bahasa dipelajari dengan
metode yang berbeda, tergantung pada disiplin akademiknya. Antropolog dan ahli
bahasa antropologi menggunakan metode yang sama, terutama observasi-peserta,
sebagaimana yang mereka gunakan dalam penelitian pemilihan bahasa. Bahkan,
peneliti antropologis biasanya berorientasi pada kajian pilihan bahasa dan
pemertahanan dan pergeseran sekaligus sebagai bagian dari fenomena yang sama.
Ketertarikkan tradisional seorang antropolog dalam kajian intensif
terhterdapatp setiap komunitas individu membuat pendekatan ini beralasan.
Pilihan-pilihan yang dibuat oleh anggota komunitas tutur tertentu, yang
mencerminkan nilai-nilai budaya mereka, menambah pergeseran atau pemertahanan
dalam komunitas tersebut. Pencarian penyebab-penyebab umum atau universal untuk
pemertahanan dan pergeseran bahasa akan diambil dari penelitian terhterdapatp
sejumlah penyelidikan intensif pada setiap komunitas individu.
Dalam
sosiologi, pendekatannya sangat berbeda. Sosiolog cenderung mengambil pandangan
yang jauh lebih luas dari seluruh masalah. Daripada intensif mempelajari suatu
komunitas tertentu untuk menemukan penjelasan mengapa bahasa itu bergeser atau
tidak, mereka biasanya lebih memilih untuk memeriksa data survei mulai dari
sebanyak mungkin komunitas. Data mereka tidak seperti catatan pengamatan
antropolog, tetapi kemungkinan besar akan kembali dari sensus atau survei
kuesioner lainnya. Terdapat dua cara pergeseran yang dapat muncul pada data
survei. Jika terdapat data yang tersedia dari populasi yang sama lebih dari
satu kali (biasanya data sensus), dan terdapat penurunan yang signifikan pada
jumlah responden yang melaporkan suatu bahasa tertentu, hal itu mungkin
merupakan sinyal pergeseran. Jika data sensus tidak memadai atau tidak
tersedia, one-shot survei mungkin harus lakukan. Hal yang harus dicari adalah
jumlah distribusi-usia. Jika penutur yang lebih tua menggunakan suatu bahasa,
dan penutur muda menggunakan bahsa yang lain, maka hal ini bisa menjadi
indikasi pergeseran. Bahaya dari melompat pada kesimpulan berdasarkan data
semacam ini yaitu ketidakakuratan (Lieberson 1980, Mackey dan Cartwright 1979).
Dua masalah utama dalam menafsirkan hasil survei one-time berhubungan
dengan tingkat usia dan migrasi.
Jika
terdapat pergeseran asli yang terjadi, pasti penutur yang lebih tua yang
menggunakan bahasa yang menurun akan muncul dalam proporsi yang lebih besar
dari penutur muda. pergeseran Bahasa, bagaimanapun, tidaklah satu-satunya cara
yang berkaitan dengan perbedaan usia bisa timbul. Hal ini sering terjadi bahwa
perilaku bahasa yang berbeda yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu
komunitas pada usia yang berbeda. Dalam sebuah komunitas dengan diglosia,
anak-anak belajar bahasa Rendah pertama. Akibatnya, hampir semua anak kecil
mungkin monolingual dalam bahasa itu. Ketika mereka tumbuh dewasa, beberapa
akan memperoleh bahasa Tinggi. Data survei yang menunjukkan tingkat tinggi
monolingualisme di kalangan anak-anak muda dan tingkat tinggi
bilingualisme antara orang dewasa tidak bisa diartikan bahwa bahasa Tinggi
niscaya sekarat keluar. Banyak anak-anak monolingual mungkin akan belajar itu
saat mereka memasuki sekolah dan mulai berfungsi dalam daerah Tinggi.
Singkatnya, penutur muda mungkin monolingual pada awal hidupnya, tapi berasumsi
bahwa mereka akan tetap demikian sepanjang hidup mereka adalah hal yang bodoh.
Lieberson (1972, 1980: 14-15) melaporkan kasus bilingualisme dari
Perancis-Inggris di Montreal yang menunjukkan bagaimana data korelasi umur pada
bilingualisme bisa menyesatkan, bahkan di dalam jangka hidup orang dewasa. Kami
akan meperlihatkan kasus ini secara rinci dalam bab ini.
Migrasi
merupakan faktor pengganggu dalam data survei. Sejauh orang berpergian masuk
atau keluar dari suatu wilayah antar sensus, hasil untuk daerah tersebut tidak
menunjukkan apakah penutur individu meninggalkan atau menjaga bahasanya, karena
data akan populasi sebagian besar berbeda dalam dua sensus. Tentu saja,
sebuah wilayah geografis dapat dikatakan akan mengalami pergeseran bahasa jika
sejumlah besar penutur bahasa lain beberapa bergerak dalam, bahkan jika tidak
terdapat warga yang lebih tua yang belajar bahasa baru. Substansial dalam
migrasi dapat memberikan tekanan pada warga yang lebih tua untuk belajar bahasa
dari kelompok yang masuk, terutama jika mereka menguasai lembaga-lembaga
ekonomi dan sosial. Tapi bisa jadi bahwa data daerah benar-benar sebuah
penggabungan data pada dua komunitas tutur yang kebetulan tinggal di wilayah
geografis yang sama. Satu komunitas mungkin akan mempertahankan dua bahasa
sedangkan yang lain hanya salah satu diantaranya, dan komunitas tidak memiliki
pergeseran sama sekali. Bahkan tanpa migrasi, tentu saja data survei dengan
mudah dapat mencampur data dari lebih dari satu komunitas tutur.
Kita telah
melihat dua masalah yang lebih umum yang mengganggu data survei. Data survei
hampir selalu berupa laporan diri, yang membuat mereka agak dicuriga, tapi,
seperti ramalan cuaca, data laporan diri tidak juga selalu salah. Ingat
bahwa Gal (1979) menemukan hal ini ketika hasil surveinya sangat berkorelasi
dengan pengamatannya. Masalah lain dalam menggunakan data survei pada
pergeseran bahasa dihubungkan dengan penemuan penyebab. Tidak seperti observasi
partisipan antropologi, sangat tidak mungkin data survei memberikan nilai
informasi dan budaya. Oleh karena itu, diperlukan pencarian penyebab terukur,
seperti urbanisasi, migrasi, atau pergeseran dalam indikator ekonomi. Bahkan
hubungan antara nilai-nilai yang terukur tersebut dan bukti statistik dalam
penurunan jumlah penutur bahasa tertentu, jika ditemukan, tidak akan mendirikan
hubungan sebab. Dalam bab 5, kita memeriksa beberapa karya Lieberson dan
rekan-rekannya yang menunjukkan bagaimana korelasi tersebut dapat menyesatkan (Lieberson
dan Hansen 1974: Liberson, Dalto, dan Johnston 1975). Terlepas dari semua ini,
penggunaan data survei secara hati-hati adalah alat yang berharga dalam
memahami pemertahanan dan pergeseran. Penggunaan data survei tambahan
oleh sociolinguists yang lebih berorientasi pada antropologi seperti Gal
(1979), Dorian (1981), dan Huffines (1980) adalah bukti tidak langsung bahwa
hal ini benar.
Terdapat
penelitian sosiologis tentang pemertahanan bahasa dan pergeseran jenis lain
yang mencari generalisasi faktual dan teoritis tanpa jalan langsung ke data
tertentu. Perbandingan Tabouret-Keller (1968) mengenai
pola pergeseran dan pemertahanan Eropa dan Afrika dan analisis
Verdoodt (1972) mengenai tiga situasi hubungan Jerman-Perancis di Eropa
Barat adalah dua contoh penelitian tersebut. Pada jenis penelitian ini,
fakta-fakta kasus sebagian besar bersyarat dan peneliti harus menganalisis
yang sebenarnya. Walaupun penelitian berbasis data cenderung lebih meyakinkan,
kajian 'melangkah mundur dan melihat' ini dapat menjadi sangat layak dilakukan.
E. Sejumlah
Hasil Penelitian Kasus Pergeseran dan Pemertahanan
1.
Negara
negara berkembang
Meskipun
Fishman (1964) menyebutkan perhatian pada pemertahanan dan pergeseran bahasa
sebagai fenomena yang dipelajari hampir dua puluh tahun yang lalu, topiknya
telah mengilhami sedikit penelitian. Gal (1979) dan Dorian (1981) adalah yang
pertama menyediakan monografi-panjang penyelidikan pergeseran bahasa dalam
komunitas tertentu secara luas. Sejumlah laporan pendek penelitian pemertahanan
dan pergeseran telah muncul baru-baru ini, namun kasus Eropa dan Amerika Utara
telah menerima perhatian yang besar. Ini akan memicu minat yang besar untuk
memiliki penelitian mendalam tentang fenomena di negara berkembang, untuk melihat
persamaan dan perbedaan yang dapat dibandingkan dengan kasus bangsa barat.
Berdasarkan tinjauan yang luas terhadap instansi Eropa dan Amerika,
Tabouret-Keller (1968: 117) menyimpulkan bahwa terdapat lebih banyak perbedaan
dari kesamaan ketika Eropa sekarang dibandingkan dengan Afrika saat ini.
Meskipun pandangan historis akan menunjukkan 'lebih banyak analogi daripada
perbedaan, asalkan kita membandingkan transformasi Afrika saat ini dengan
transformasi saat menjelang akhir abad kesembilan belas di Eropa'. Di antara
kajian yang tersedia di negara-negara berkembang yaitu tinjauan umum
pemertahanan dan pergeseran di Filipina (Asuncion-Lande dan Pascasio 1979),
satu set di Singapura (Chong 1977), dan survei Lieberson dan McCabe (1978)
riset di Nairobi. Selain itu, terdapat banyak yang harus dipelajari tentang
pemertahanan dan pergeseran dalam laporan negara-negara berkembang yang
berfokus pada topik lain; penelitian Abdul Mkilifi (1978) di Tanzania,
dan Kuo(1979) dan Platt (1977) di Malaysia adalah contoh kita telah
ditemui. Meskipun demikian, untuk sementara kita harus puas dengan penelitian
mendalam yang tersedia dari Eropa dan Amerika Utara.
Negara-negara
maju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar