KAJIAN DAKWAH DAN SOSIOLOGI
''posting by nino''
Metodologi
Penelitian Dakwah Dalam Sosiologi
- A. Hubungan Penelitian Dakwah Dan Sosiologi.
Pertanyaan
yang paling mendasar pada topik pembahasan ini adalah ” mengapa ilmu dakwah
menggunakan sosiologi sebagai dasar/pisau analisis dalam melakukan penelitian?
Apa hubungan antara ilmu dakwah dan sosiologi?”[1]
Ilmu
dakwah merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk
peyampaian ajaran Islam kepada pihak lain mengenai bagaimana seharusnya menarik
perhatian manusia agar mereka menerima dan mengamalkan ajaran secara kaffah .
Dalam pengertian ini, Ilmu dakwah secara korelasional langsung dapat dipahami
memiliki keterlibatan dengan disiplin ilmu pengetahuan lain.
Pertama,
dipandang dari segi penyampaian maka Ilmu dakwah akan bersimpangan dengan ilmu
komunikasi yang juga memiliki wilayah penyampaian informasi dari satu pihak
kepihak lain .
Kedua,
dipandang dari segi hubungan antara ajaran Islam dengan pranata sosial, maka
Ilmu dakwah akan berpapasan dengan Ilmu antropologi yang menekankan pada aspek
pengaruh atau hubungan antara dogma dan pranata sosial .
Ketiga,
dilihat dari aspek subyek dan obyek dakwah yang terikat dalam hubungan
kemasyarakatan, maka dalam hal ini ilmu dakwah akan berpapasan dengan ilmu
sosiologi yang memiliki wilayah garapan kehidupan manusia yang terikat dalam satu
kesatuan yang stabil dan teratur melalui bingkai kemasyarakatan,Dengan berpijak
atas dasar pandangan poin terakhir ini, maka ilmu dakwah dan pengembangannya
melalui penelitan dakwah akan banyak memiliki keterlibatan dengan metodologi
dan teori-teori disiplin ilmu sosiologi.[2]
Hubungan
antara dakwah sebagai ilmu dan sosiologi, hemat penulis dapat lebih jelas
dipahami melalui deskripsi mengenai terminologi sosiologi berikut ini:
a)
Jika sosiologi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari mengenai kehidupan
bersama dalam masyarakat , maka dalam hal ranah ilmu dakwah yang mempelajari
aturan-aturan hukum pergaulan (al syarî’ât al mu’âmaliât) dan etika pergaulan (
al adab al Ijtimâ’i) dapat ditelusuri melalui pendekatan sosiologi. Jika dalam
ilmu dakwah aturan hukum dan etika tersebut berdiri dalam tataran yang
seharusnya (das sollen), maka dapat dianalisis melalui pendekatan sosiologi
yang berdiri dalam tataran empiris-faktual (das sein). Dalam kasus penelitian
dakwah, berbagai fenomena kesenjangan sosial yang nampak dengan ajaran agama
ideal dapat dijadikan obyek penelitian dakwah.
b)
Jika sosiologi dimaknai sebagai ilmu yang menyelidiki ikatan-ikatan antara
manusia berikut permasalahan yang mengitarinya , maka dalam hal ini, ranah ilmu
dakwah yang membahas masalah kejahatan sosial (al jinâyât), persoalan keluarga
(nizâm al usrah), perputaran ekonomi (fiqh al mâliat), hingga masalah
integritas atau disintegritas masyarakat (ittihâd al ummat wa ikhtilâfuhum)
dapat didekati melalui pisau analisis sosiologi. Dalam kasus penelitan dakwah,
hubungan ketaatan menjalankan shalat dengan tingkat kriminalitas masyarakat
misalnya, dapat dijadikan obyek penelitan dakwah. Contoh lain, tingginya
tingkat perceraian artis dengan pemahaman ajaran agamanya, atau persoalan KDRT
dalam keluarga muslim dapat dianalisis melalui pendekatan sosiologi dan
seterusnya.
c)
Jika sosiologi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari struktur dan
proses-proses sosial termasuk perubahan sosial yang terjadi di dalamnya , maka
dalam ranah tujuan normatif dakwah yang menekankan aspek perubahan sosial
(yukrijuhum min al zulumâti ila al nûr), berbagai fenomena dan gejala perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat islam dapat ditelaah dan dianalisis
melalui kacamata sosiologi. Dalam kasus penelitian dakwah, perubahan sosial
yang terjadi pada masyarakat arab dari bentuk masyarakat nomaden kepada
sentralistik di abad 6 M dapat dianalisis melalui pendekatan sosiologi
disamping pendekatan sejarah.[3]
Pada
dasarnya alasan pemilihan sosiologi sebagai salah satu pisau analisis dalam pendekatan
penelitian dakwah adalah sisi kesamaan antara obyek sosiologi yang menekankan
pada aspek masyarakat dipandang dari sudut hubungan antarmanusia dan proses
yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat , dengan obyek ilmu
dakwah itu sendiri. Obyek ilmu dakwah sendiri terdiri dari dua bagian, obyek
materi dan obyek forma .kalau obyek materi ilmu dakwah adalah proses
penyampaian ajaran Islam kepada umat manusia, maka obyek forma ilmu dakwah
terdiri dari proses penyampaian agama (ranah kultural atau formal), hubungan
antar unsur-unsur dakwah, dan proses keagamaan pada diri manusia. Pada tataran
obyek materi, ilmu dakwah dan sosiologi sama-sama menelusuri aspek proses pada
masyarakat. Kalau dalam sosiologi yang ditelusuri adalah proses yang timbul
dalam masyarakat, maka proses yang timbul itu disepesifikasikan dalam Ilmu
dakwah sebagai proses penyampaian ajaran islam. Sedangkan dalam tataran obyek
forma, ilmu dakwah dan sosiologi memiliki titik kesamaan pada hubungan
antarmanusia .
Atas
kesamaan sudut pandang terebut maka tidak diherankan jika sosiologi memiliki
urgensi pada proyek penelitian dakwah .
Pertama,
dengan sosiologi, fenomena-fenomena dakwah yang muncul dalam kehidupan
masyarakat dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya
hubungan, mobilitas sosial, serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya
proses tersebut (how and why it happened). Misalnya faktor-faktor yang
mendorong terjadinya kebangkitan Islam di Timur tengah serta mobilitas sosial
yang ditandai dengan pergerakan-pergerakan dakwah serta keyakinan yang
mendasarinya baru dapat dipahami melalui pendekatan sosiologi .
Kedua,
fenomena dakwah tanpa jasa sosiologi, tidak akan dapat dipahami secara tepat
dan proporsional. Contoh dalam hal ini misalnya hubungan antara keragaman
keyakinan masyarakat indonesia dan lahirnya pemikiran pluralisme Islam baru
dapat dipahami jika menggunakan pisau analisis sosiologi. Sedangkan dalam
contoh masalah klasik misalnya pertanyaan mengenai mengapa nabi Yusuf dari
bukan siapa-siapa (zero) menjadi tokoh negara yang memiliki peran dalam
menentukan kebijakan (Hero), atau mengapa dalam berdakwah nabi Musa dibantu
oleh nabi Harun, semua pertanyaan di atas baru dapat dipahami hanya melalui
kacamata sosio-historis pada saat teks itu diturunkan .
Ketiga,
banyaknya materi dakwah yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial
Dalam kaitan ini, Jalaludin Rakhmat seperti dikutip Abudin Nata, menyebutkan
lima perhatian Islam terhadap persoalan sosial . Pertama, teks (al Qur’an
Hadist) yang membicarakan persoalan sosial memiliki proporsi 100:1 dengan teks
mengenai ibadah.Kedua, Islam membolehkan penangguhan ibadah individual jika
bersamaan waktunya dengan ibadah sosial. Ketiga, imbalan (baca: pahala) yang
diberikan untuk ibadah sosial lebih banyak ketimbang ibadah individual.
Keempat, dalam hal kifarat, ibadah yang tidak sempurna atau batal karena
melanggar pantangan tertentu, maka tebusannya adalah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah sosial. Kelima, amal sosial dalam islam dipandang
lebih berbobot ketimbang ibadah sunnah. Keluasan wilayah sosial dakwah
tersebut, akhirnya menjadikan sosiologi memiliki peran yang sangat penting
dalam penelitian dakwah.
Keempat,
Islam didakwahkan untuk kepentingan kemasyarakatan. Atas dasar pernyataan tersebut,
sosiologi sebagai ilmu yang menelaah beragam aspek kehidupan masyarakat menjadi
kelihatan urgensinya ketika dihadapkan pada penelitian dakwah .
Dari
sudut pandang sosiologi, dakwah yang merupakan bagian dari fenomena keagamaan
memiliki peran besar dalam proses sosial. Karena peran besar tersebut, maka
tidak heran jika dalam penelitian dakwah, sosiologi dijadikan satu pendekatan
sebagai metodenya. Bagi para sosiolog, setidaknya ada enam fungsi agama dalam
kaitannya dengan kehidupan sosial .Pertama, agama dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam aspek kehidupan sosial manusia yang tidak
didapat dari lainnya.kedua, agama dapat memaksa orang untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan. Ketiga,
agama memotivasi tumbuh dan terciptanya sistem-sistem nilai sosial yang terpadu
dan utuh.Keempat, agama dapat menyatukan pandangan masyarakat mengenai
nilai-nilai luhur kemanusiaan.Kelima, agama memiliki peran dalam membentuk
hierarki nilai kemasyarakatan beserta seluruh implikasinya.Keenam, agama
berperan dalam memberikan standar mengenai tingkah laku bermasyarakat yang
selanjutnya terwujud dalam norma-norma sosial.
Atas
pertimbangan hubungan-hubungan tersebut, baik yang berangkat dari sudut pandang
dakwah sebagai ilmu maupun yang berangkat dari sudut pandang sosiologi, maka
sosiologi memiliki tempat khusus dalam penelitian dakwah.Dalam kaitan ini,
tentunya disediakan wilayah tersendiri bagi pendekatan sosiologi dalam
menganalisa permasalahan dakwah seperti dijelaskan berikut ini.[4]
- B. Wilayah penelitian dakwah dengan pendekatan sosiologi.
Penelitan
dakwah sebetulnya adalah bagian dari penelitian agama, hal demikian karena pada
dasarnya perilaku dakwah dapat disebut sebagai bagian dari perilaku keagamaan
(religiousity), yakni perilaku yang langsung atau tidak langsung bersumber dari
nash agama . Dalam kaitan dakwah bersumber dari teks agama islam, maka
peneltian dakwah dapat diartikan sebagai penelitian agama islam. Sebagai mana
penelitian agama pada umumnya, penelitian dakwah memiliki lima dimensi kajian .
Pertama,
dimensi ideologis.Penelitian dalam dimensi ini difokuskan pada bidang yang
terkait dengan perangkat kepercayaan Islam (beliefs).Ini berarti penelitian
ditujukan untuk mencari pengetahuan tentang Allah, alam dan manusia serta
hubungan diantara mereka.Penelitian ini juga meliputi permasalahan tentang
tujuan manusia dan pengetahuan tentang perangkat tingkah laku yang dikehendaki
oleh agama.
Kedua,
dimensi intelektual. Penelitan dalam dimensi ini diarahkan untuk mengetahui
tingkat kesadaran intelektual islam dan tingkat ketertarikan mereka dalam
mengikuti ajakan dakwah.
Ketiga,
dimensi eksperiensial.Dalam dimensi ini, penelitian dakwah mengacu kepada
keterlibatan emosional dan sentimental masyarakat sebagai respon dari kegiatan
dakwah.Misalnya penelitian mengenai perasaan keagamaan dalam tingkat
konfirmatif (merasakan kehadiran Allah), responsif (perasaan bahwa Allah
menjawab kehendak dan keluhannya), eskatik (merasa punya hubungan dekat dengan
Allah) maupun partisipatif (merasa menjadi kekasih Allah).
Keempat,
dimensi ritualistik. Yaitu dimensi penelitian dalam tataran masalah-masalah
mengenai kegiatan ritual islam baik pada tataran pedoman pokok dan pelaksanaan
ritual tersebut sehari-hari.
Kelima,
dimensi konsekuensional. Yaitu dimensi penelitian yang difokuskan pada tataran
sosio-faktual mengenai apa saja yang menjadi implikasi dari materi ajaran islam
yang didakwahkan. Misalnya penelitian mengenai efek dakwah terhadap etos kerja,
hubungan interpersonal, kepedulian sosial dan lain-lain.
Dari
kelima dimensi tersebut, secara garis besar wilayah penelitian dakwah meliputi
dua bidang saja, yakni dimensi teoritis yang mengkaji dakwah sebagai ilmu dan
dimensi praktis yang mengkaji dakwah sebagai kegiatan praktis . Dalam dimensi
teoritis, wilayah penelitian dakwah yang dapat dianalisa melalui pendekatan
sosiologi misalnya problem mengenai sasaran dakwah baik secara individual
maupun kelompok dalam bidang interaksi da’i dengan doktrin islam, problem
pemahaman atas realitas empirik mad’u dalam struktur kemasyarakatan dalam
interaksi da’i dan mad’u, problem pemahaman kondisi sosial dalam lingkungan
masyarakat yang diajak menyatu dengan tujuan dakwah dalam interaksi mad’u dan
tujuan dakwah, dan sebagainya . Sedangkan dalam dimensi praktis, wilayah
penelitan dakwah yang dapat dianalisa melalui pendekatan sosiologi misalnya
masalah penerimaan pesan dakwah dalam interaksi da’i dan mad’u, masalah
pengembangan masyarakat islam dalam interaksi mad’u dan tujuan dakwah, masalah
bimbingan penyuluhan dan manajerial sosial dakwah.
Sedangkan
dipandang dari sudut aspek normatifitas, wilayah penelitian dakwah memiliki
tiga lingkup .Pertama lingkup normatif tentang Islam, yang meliputi studi-studi
seperti tafsir, hadist, fikih dan kalam. Kedua lingkup non normatif tentang
islam, yang meliputi penelitian tentang ekpresi religius kaum muslim yang
faktual. Ketiga lingkup non normatif mengenai aspek kebudayaan dan masyarakat
muslim. Penelitan dakwah dengan pendekatan sosiologi dalam hal ini dapat
diterapkan dalam kategori yang tersebut terakhir.
Di
antara ahli juga ada yang membedakan antara penelitan agama dan penelitian
keagamaan.Kategori pertama memiliki sasaran penelitian agama sebagai doktrin,
sedangkan kategori kedua memiliki sasaran penelitian agama sebagai gejala
sosial. Dalam kaitan penelitian dakwah, kategori kedua adalah wilayah
penelitian dakwah yang dapat dianalisa dengan pendekatan sosiologi .
Ada
lagi yang memandang agama sebagai obyek penelitian harus dijadikan sebagai
fenomena riil betapapun dirasakan abstrak . Dari sudut pandang ini, maka dapat
dibedakan fenomena keagamaan untuk diteliti, yaitu agama sebagai doktrin,
dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh agama, dan sikap masyarakat
terhaap doktrin .Agama sebagai doktrin berusaha memahami esensi ajaran agama
secara mendalam dan mempersoalkan mengenai subtansi ajaran dengan segala
refleksinya. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini bercorak sejarah
dan kefilsafatan . Sedangkan agama sebagai pembentuk dinamika dan struktur
masyarakat meneliti suatu komunitas masyarakat beserta dinamikanya yang
dibentuk agama (baca:Islam) melalui dakwah. Dalam hal ini, penelitian ditujukan
untuk meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah. Disini
pendekatan sosiologi dengan metode kualitatif memiliki peran dalam penelitian
dakwah .Adapun sikap masyarakat terhadap dakwah, berusaha mengungkap sikap
anggota masyarakat terhadap dakwah sehingga berimplikasi pada pemahaman
masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama serta corak dan tingkat
keberagamaan. Karena yang diteliti dalam hal ini sudah merupakan fenomena
empiris yang memiliki data akuntable, maka penelitian dakwah dengan memiliki
peran dalam penelitian ini .pendekatan sosiologi dengan metode kuantitatif.
Dalam
wilayah penelitian dakwah dengan pendektan sosiologi, metode yang digunakan
pada dasarnya hanya dua cara kerja, kualitatif dan kuantitaf . Metode
kualitatif dalam pendekatan sosiologi untuk penelitian dakwah memfokuskan pada
data-data yang tidak akuntable (tidak bisa dihitung) atau di ukur dengan
ukuran-ukuran yang bersifat eksak walaupun data tersebut nyata ditemukan dalam
masyarakat .
Metode
kualitatif dalam pendekatan sosiologi berkisar antara metode sosio-historis,
komparatif, dan studi kasus.Metode sosio-historis menggunakan analisis atas
peristiwa masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Sebagai contoh
seorang peneliti dakwah yang hendak meneliti mengenai revolusi masyarakat islam
misalnya, akan menggunakan data-data sejarah untuk meneliti revolusi-revolusi
masyarakat yang pernah terjadi dalam masa yang silam. Sedangkan metode
komparatif digunakan untuk membandingkan antara bermacam-macam masyarakat
beserta bidang-bidangnya untuk selanjutnya menuturkan kekhasan atau
karakteristik masyarakat islam. Studi kasus dalam pendekatan sosiologi
dipergunakan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah satu gejala nyata dalam
kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan dakwah.
Dalam
hal ini instrumen riset yang digunakan bisa berupa interview, kuesioner, hingga
sekejul .Adapun ranah metode kuantitatif dalam pendekatan sosiologi
mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka-angka sehingga gejala-gejala
kemasyarakatan dalam kaitannya dengan dakwah yang diteliti dapat diukur dengan
mempergunakan skala-skala, indeks, tabel, dan formula yang semuanya menggunakan
ilmu pasti atau matematika. Pada tataran umum, penelitian dakwah kuantitatif
dengan pendekatan sosiologi banyak mempergunakan statistika dan sociometry,
yakni alat yang menggunakan skala dan angka untuk mempelajari hubungan antar
manusia dalam masyarakat secara kuantitatif .[5]
- C. Teori-Teori Sosiologi Untuk Penelitian Dakwah.
Di
atas telah penulis paparkan, bahwa yang dimaksud dengan pendekatan sosiologi
dalam penelitian dakwah berarti bahwa dalam melakukan penelitian dakwah,
peneliti meminjam teori-teori yang telah mapan dalam bidang disiplin ilmu
terkait (sosiologi) untuk mengungkapkan dan menjelaskan mengenai suatu fenomena
atau gejala tertentu dalam masyarakat dalam kaitannya dengan dakwah. Karena
teori-teori sosiologi berbasis dari ilmuwan barat yang nota bene belum memiliki
pemaham kaffah mengenai unsur-unsur masyarakat islam, maka dalam hal ini para
peneliti dakwah dianjurkan agar bersikap kritis disamping tetap berusaha
obyektif dalam menggunakan teori-teori sosiologi yang relevan. Dengan segala
kelebihan dan kekurangannya teori sosiologi yang dimaksud dapat dirinci sebagai
berikut
Pertama
teori fungsionalisme. Teori ini berbicara mengenai masyarakat yang dipandang
sebagai suatu jaringan kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama
lain dalam sebuah sistem yang harmonis. Teori ini dikembangkan dari teori-teori
klasik seperti Emile Durkheim, Max Weber, Talcot Parson dan Robert K.
Merton.Fungsionalisme dalam pandangan Durkheim, berarti bahwa kenyataan atau
fakta sosial memiliki pengaruh dalam membentuk perilaku individu.Karena itu,
Durkheim memandang bahwa realitas atau fakta sosial memiliki kegunaan tertentu
(fungsi) dalam membentuk struktur masyarakat.Sedangkan Max Weber sebagai
peletak dasar sosiologi agama, menekankan bahwa agama memiliki fungsi terkait
dalam hubungannya dengan perilaku ekonomi masyarakat.Sedangkan fungsionalisme
Parson, menilai perlunya agar tiap individu bekerjasama untuk memelihara nilai-nilai
yang dijadikan rujukan bersama dalam hidup bermasyarakat.Tujuannya adalah agar
tidak terjadi disintegrasi dan putusnya kerjasama (fungsi) antara satu kelompok
sosial dengan lainnya. Perubahan sosial dalam pandangan Parson dalam hal ini
disebabkan karena nilai-nilai masyarakat yang dijadikan pedoman bersama telah
berubah pula. Senada dengan Parson, Merton juga menekankan perlunya nilai dan
norma dan perubahan sosial yang terjadi akibat berubahnya kedua hal tersebut.
Hanya saja Merton berangkat lebih jauh, yaitu dengan pendapat bahwa nilai dan
norma yang tidak memiliki nilai kredibilitas dalam masyarakat bisa diusahakan
untuk dirubah melalui rekayasa sosial .
Kedua,
teori pertukaran.Teori sosiologi yang satu ini mengedapankan pendapat bahwa
dalam hubungan masyarakat tidak terlepas dari unsur pertukaran yang saling
menguntungkan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya, baik dalam bentuk
pertukaran materi maupun non materi.Teori ini dikembangkan oleh pemikir
sosiologi di antaranya George C. Homans. Melalui pandangan teori ini, perubahan
sosial dinilai sebagai ketidakpuasan pertukaran antara satu komunitas dengan
komunitas lain dalam masyarakat. Perubahan tersebut akan terus berlanjut hingga
titik dimana terjadi keseimbangan (equilibrium) di mana masing-masing komunitas
mendapatkan kepuasan baru. Keadaan tersebut akan berulang terus menerus dalam
sebuah perkembangan masyarakat .
Ketiga,
teori interaksionisme simbolik. Teori ini berbicara bahwa masyarakat
berhubungan antara satu sama lain dengan perantaraan simbol-simbol yang mereka
ciptakan, baik dalam bentuk verbal, seperti bahasa, maupun non verbal seperti
kebudayaan lainnya. Menurut teori ini, sikap suatu masyarakat terhadap
masyarakat lainnya dibentuk atas dasar simbol yang diberikan oleh komunitas
lain sebagai respon dari interaksi antar simbol. Teori looking glass self dalam
interaksionisme simbolik menjelaskan bahwa sebuah masyarakat melakukan evaluasi
diri atas dasar sikap dan prilaku masyarakat lain kepada mereka. Tokoh pemikir
dalam teori ini adalah Peter L. Berger yang mengungkapkan bahwa masyarakat
mengalami proses dialektis mendasar yang terdiri dari eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi. Melalui teori ini, perbedaan realitas kehidupan
beragama masyarakat muslim di berbagai tempat yang berbeda dapat dijelaskan .
Keempat,
teori konflik. Menurut teori sosiologi ini, tiap-tiap komunitas masyarakat
memiliki kepentingan satu sama lain yang untuk mewujudkannya mereka harus
bersaing. Karena persaingan tersebut, maka tidak jarang terjadi konflik antara
komunitas masyarakat tersebut.Salah satu tokoh teori ini Lewis Coser
berpendapat bahwa ketika terjadi konflik antar komunitas, hubungan di antara
anggota komunitas cenderung integratif sekalipun sebelumnya terjadi
konflik.Sebaliknya jika konflik antar komunitas tidak terjadi, hubungan dalam
suatu komuitas cenderung mengalami disintegrasi. Tidak adanya rasa senasib
sepenanggungan dalam suatu komunitas memicu terjadinya konflik dalam komunitas
.
Kelima,
teori penyadaran.Teori ini menekankan perlunya sikap kritis terhadap pemikiran
dan konsep-konsep yang telah menyebar dan umum dimasyarakat. Tujuannya adalah
agar anggota masyarakat menyadari unsur dan tujuan lain dalam pemikiran dan
konsep tersebut yang tidak terkait bahkan merugikan masyarakat yang bersangkutan.
Dalam hal penelitian dakwah, teori ini bermanfaat untuk menumbuhkan sikap
kritis terhadap berbagai fenomena dakwah .
Keenam,
teori ketergantungan. Menurut teori ini, terdapat dua jenis masyarakat dilihat
dari kekuasan yang satu atas yang lain. Masyarakat yang memiliki dominasi atas
kelompok yang lain disebut masyarakat “center”, sedangkan yang dikuasai disebut
masyarakat “feri-feri”. Komunitas masyarakat feri-feri tidak bisa menunjukan
eksistensinya karena memiliki ketergantungan yang besar terhadap komunitas
center.Dalam kaitan ini, komunitas masyarakat center adalah pihak yang
menghegemoni komunitas feri-feri. Atas dasar disparitas komunitas masyarakat
ini, peneliti dakwah dapat mengkritisi berbagai fenomena sosial dalam
masyarakat .
Ketujuh,
teori evolusi.Pendekatan dengan teori ini bermaksud untuk mencari pola
perubahan dan perkembangan yang muncul dalam maasyarakat yang berbeda. Melalui
pendekatan ini, peneliti berusaha mencari pola umum perubahan yang terjadi di
masyarakat, persamaan dan perbedaan pengaruh dari suatu proses terhadap satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya, serta proses memudarnya suatu bentuk
intsitusional masyarakat dengan masyarakat lainnya.[6]
- D. Kritik Mengenai Pendekatan Sosiologi Dalam Penelitian Dakwah.
Di
luar kelebihan dan kesanggupan disiplin ilmu sosiologi dalam menganalisa
berbagai fenomena keagamaan, termasuk fenomena dakwah, pendekatan dengan metode
ini juga memiliki kelemahan yang mesti disingkapi secara kritis oleh para
peneliti dakwah.Terutama karena disiplin ilmu sosiologi yang dikembangkan oleh
para pakar barat yang nota bene tidak memahami keunikan dan karakteristik
khusus masyarakat Islam. Di sisi lain, teori-teori yang diungkapkan di atas,
terkadang tidak cocok untuk menganalisis masyarakat islam. Kritik terhadap
pendekatan sosiologi untuk penelitian dakwah dapat diungkap melalui
contoh-contoh berikut.
Pertama,
dalam menganalisa fenomena keagamaan dalam masyarakat Islam, pendekatan
sosiologi terkadang sulit membedakan antara hal-hal yang islamic dan
indegenous. Sebagai contoh, penelitian besar Clifford Gertz tentang kelompok
santri, priyayi dan abangan mengenai msyarakat muslim di jawa memiliki
kekeliruan dalam menggolongkan hal-hal yang sebetulnya islami tapi digolongkan
sebagai indegenous .
Kedua,
para peneliti barat tidak memahami perbedaan antara masyarakat Islam dan
masyarakat muslim. Masyarakat islam adalah masyarakat yang dibentuk dengan
ideologi Islam, sedangkan masyarakat muslim adalah masyarakat yang dibentuk
oleh sekelompok orang-orang yang beragama islam. Kalau yang pertama memiliki
pengertian konseptual, maka pada yang kedua berarti empirik faktual. Kesalahan
dalam memahami kedua istilah ini menyebabkan biasnya analisa penelitian tentang
masyarakat .
Ketiga,
teori sosiologi yang dibangun di atas kerangka empirisme-positivistik terkadang
tidak tepat untuk menganalisa fenomena yang terjadi dalam masyarakat muslim .
Sebagai contoh teori fungsionalisme sosiologi yang dibangun atas dasar fenomena
empirik positif tidak akan bisa diterapkan untuk menganalisa fenomena
kemunduran keilmuan yang terjadi pada masyarakat muslim. Menurut teori
tersebut, secara empirik ada hubungan fungsional antara keyakinan agama dan
perilaku penganut agama tersebut seperti hubungan kapitalisme yang dipengaruhi
oleh etika protestan.
Dalam
hal ini, kemudian disimpulkan bahwa ajaran islam memiliki andil dalam
kemunduran masyarakat muslim. Seperti kemudian diketahui, kesimpulan tersebut
tidak benar dan telah banyak mendapat kritik dari pakar barat sendiri maupun
muslim.[7]
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz
M. Ali, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
Effendi,
Unong Uchana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2005)
Mas’ud,
Abdurrahman, Prolog Pengantar Sosiologi Islam, (Surabaya: Temprina Media
Grafika, 2008
Saeful
Muhtadi Asep dan Agus Ahmad Safei, Metode Penelitian Dakwah, (Bandung:
Pustaka Setia, 2003),
http://didanel.wordpress.com/2011/06/23/metodologi-penelitian-dakwah-dalam-sosiologi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar